Natal: Dari Pedang Menjadi Mata Bajak - Satu Harapan
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 18:19 WIB | Senin, 23 Desember 2013

Natal: Dari Pedang Menjadi Mata Bajak

Patung "Swords into Plowshares" di markas besar PBB di New York. (Foto: ist)

SATUHARAPAN.COM - Taman di markas besar Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat dihiasi sejumlah patung yang merupakan sumbangan dari negara-negara anggota. Salah satu patung adalah "Let Us Beat Swords into Plowshares." yang kadang-kadang disebut patung Swords into Plowshares, atau patung Plowshare (mata bajak).

Patung ini merupakan hadiah dari Uni Soviet (sekarang terpecah menjadi sejumlah negara dan yang terbesar adalah Rusia) dan ditempatkan di sana pada tahun 1959. Patung perunggu itu dibuat oleh seniman negara itu, Evgeniy Vuchetich. Patung ini menampilkan sosok seorang pria memegang palu di satu tangan, dan pada tangan lain memegang pedang besar yang dia "tempa" menekuk sehingga menjadi mata bajak.

Patung ini melambangkan keinginan manusia yang kuat untuk mengakhiri perang, dan mengubah cara yang menghancurkan menjadi alat kreatif untuk kepentingan seluruh umat manusia. Yang menarik adalah patung ini hadiah dari sebuah negara komunis terbesar (ketika itu), dan terinspirasi oleh Kitab Yesaya. Bagian dari kitab nabi itu yang dikutip adalah pada pasal 2 ayat 4b yang dalam Alkitab King James Version tertulis:

"... and they shall beat their swords into plowshares, and their spears into pruninghooks: nation shall not lift up sword against nation, neither shall they learn war any more. (...maka mereka akan menempa pedang-pedang (mereka) menjadi mata bajak dan tombak-tombak (mereka) menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang)."

Perang Tak Pernah Absen

PBB yang berdiri setelah dunia menderita kehancuran yang masif oleh perang dunia (I dan II), dan para pemimpin dunia memimpikan dunia yang damai. Dalam tugasnya, PBB terus menyerukan dihentikanya perang di setiap bagian dunia. Patung itu mewakili secara kuat semangat tersebut. Sayangnya, dunia ini tidak pernah terbebas sama sekali dari perang.

Hari-hari ini saja perang berkecamuk dengan kekejaman yang terbayangkan bagi peradaban manusia seperti yang terjadi di Sudan Selatan, Afrika Tengah dan Suriah. Ini hanya sekadar menyebut contoh dan peristiwa yang terbaru. Mengingat perang yang tak pernah sepi, dan PBB terus mengirim pasukan penjaga perdamaian ke berbagai negara, patung "swords into plowshare" bagaikan sekeping perunggu yang tak bermakna.

Negara-negara di dunia masih terus memproduksi senjata yang mematikan, bahkan pemusnah massal. Suriah merupakan kisah terbaru yang menggunakan senjata kimia. Belum lagi dengan senjata nuklir yang masih terus ada, dan sejumlah negara memiliki ambisi yang mengerikan.

Negara-negara dunia ini juga masih menyediakan anggaran yang cukup besar untuk peralatan perang. Negara-negara masih berlomba untuk menciptakan alat perang yang paling canggih, yang tak terdeteksi oleh radar musuh dan memiliki kemampuan menghancurkan yang lebih kuat.

Semangat yang dibangun oleh PBB adalah mempromosikan agar negara-negara dan para pemimpinnya meninggalkan cara-cara yang menghancurkan dan diganti dengan cara-cara kreatif untuk kepentingan umat manusia. Namun hal itu masih menghadapai tantangan kekuatan yang terus membangun cara-cara menghancurkan.

Perdamaian

Di Indonesia, oleh umat Katolik dan Kristen, Natal tahun 2013 ini diperingati dalam tema "Datanglah, ya Raja Damai" juga mengingatkan akan impian tentang dunia yang damai. Tema ini bukan hanya relevan bagi umat yang merayakan Natal, tetapi juga bagi umat lain yang juga mengharapkan kedamaian, relevan bagi Indonesia, relevan  bagi seluruh dunia dan seluruh umat manusia.

Bagi Indonesia absennya kedamaian terjadi oleh konflik dan berbagai masalah, tingkat kriminal yang tinggi, kecemasan akan krisis ekonomi yang bisa terjadi. Selain itu, tekanan kehidupan makin berat, diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia masih terjadi. Kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebar, namun korupsi seperi gurita raksasa. Semua itu adalah tantangan yang mematikan kedamaian.

Perdamaian dan kedamaian selalu dibicarakan dan menjadi harapan. Bahkan tahun 2014 yang akan datang yang diwarnai oleh persaingan politik pada pemilihan parlemen dan presiden juga menimbulkan kecemasan dan melemahkan kedamaian. Namun keriasauan ini  juga harus sekaligus dimaknai adanya keinginan untuk kedamaian.

Cara, Bukan Tujuan

Namun perdamaian bukanlah suatu titik yang harus dituju. Keadaan penuh damai bukanlah tujuan, melainkan jalan yang harus ditempuh. Seperti kata tokoh spiritual dan pejuang kemerdekaan India, Mahatma Gandhi katakan, "There is no way to peace, peace is the way" (Tidak ada jalan menuju damai, damai itulah jalan. - Biografi Mahatma Gandhi).

Mengubah pedang menjadi mata bajak, mengubah alat untuk melukai dan membunuh orang lain, menjadi alat untuk bertani yang menghasilkan pangan adalah gambaran yang nyata bahwa damai adalah cara dan bukan tujuan. Kedamaian akan terwujud jika cara-cara yang dilakukan manusia dalam relasi dengan yang lain, dari skala di rumah tangga hingga negara dan antar bangsa adalah dengan cara-cara yang damai.

Dalam konteks ini bangsa Indonesia pantas mengakui bahwa masih harus bekerja keras dan belajar secara giat. Diskriminasi, pelanggaran hak asasi manusia, memberi label kelompok lain sebagai kafir dan sesat, menistakan sebuah komunitas hanya karena jumlahnya kecil (minoritas), korupsi, transaksi dan suap dalam penegakkan hukum dan proses pengadilan, adalah berita-berita yang tak pernah sepi di dalam kehidupan bangsa dan negara kita. Itu jelas bukan cara-cara damai, dan jelas menafikan impian tentang kedamaian.

Maka memimpikan kedamaian tanpa mengeliminasi hal-hal itu adalah mimpi yang kosong. Kita mengharapkan cara-cara yang tidak damai mulai dikikis dalam kehidupan di masyarakat dan bangsa kita. Sayangnya, justru kita malahan masih menyaksikan ada pihak-pihak yang membenarkan, bahkan memuja tindakan-tindakan yang tidak dengan cara damai.

Natal tahun 2013 ini juga diwarnai suasana kabung dengan meninggalnya Nelson Rolihlahla Mandela dari Afrika Selatan. Pusat perjuangannya memang di ujung selatan Benua Afrika, namun semangat tokoh ini begitu dekat dengan hati banyak orang di dunia. Dia tokoh yang menggunakan kekuatan pengampunan dan welas asih untuk mengakhiri kekerasan.

Mandela adalah sosok yang nyata dan hidup dari tindakan "menempa pedang menjadi mata bajak." Patung di taman markas besar PBB mungkin dianggap ilusi dan imajinasi seniman, bahkan impian dari Nabi Yesaya. Tapi Nelson Mandela telah menunjukkan hal itu sebagai hal yang mungkin, bisa, bahkan nyata.

Dan kedamaian tidak terwujud jika yang ada di tangan kita masih pedang dan tombak. Dan tidak ada kedamaian selama tidak ada transformasi dari pedan menjadi mata bajak, dan tombak menjadi pisau pemangkas.

Segenap jajaran di www.satuharapan.com mengucapkan selamat Natal, dan selamat merayakan dengan cara yang damai untuk menyambut kedatangan "Sang Raja Damai."


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home