Hari Ibu: Merayakan Kemitraan
SATUHARAPAN.COM – Hari Minggu (22/12) ini diperingati sebagai hari ibu; sebuah peristiwa yang diperingati secara rutin setiap tahun. Dan karena rutinitas sering menjebak menjadi sekadar rutin dan menggerus maknanya. Namun tahun ini tetaplah pantas untuk dimaknai secara lebih sungguh-sungguh.
Hari ibu semestinya menjadikan setiap manusia mengingat eksistensinya yang menjadi mustahil tanpa perempuan, dan bagi laki-laki, perempuan adalah mitra yang setara. Namun hal ini masih sering tampil sebagai paradoks, karena masih ada kenyataan yang lain, bahkan memilukan.
Masih banyak keprihatinan bahwa hak-hak perempuan sering terabaikan, dan lebih terabaikan lagi adalah perempuan yang masih anak-anak. Untuk pendidikan saja, sekarang tidak kurang dari 30 juta anak-anak perempuan yang tak bisa sekolah, sebagaimana diungkapkan dalam data dari Dana PBB untuk Anak (UNICEF).
Kekerasan pada perempuan masih terjadi di mana-mana, tak bisa juga dikecualikan di Indonesia. Diskriminasi atas dasar jender masih terjadi. Kita ingat ketika pemilihan presiden secara langsung tahun 2004 ada suara lantang yang menyebut jangan memilih calon presiden perempuan.
Dalam pemilihan parlemen, harus secara eksplisit disebutkan di Undang-undang agar ada 30 persen calon perempuan. Ini menandai bahwa potensi perempuan dalam kehidupan masyarakat dan bangsa masih belum dilihat dengan semestinya.
Beberapa bulan lalu, ada warga yang menolak Susan Jasmine Sulkifli, Lurah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, menduduki jabatan itu, karena antara lain dia seorang perempuan. Hal itu adalah bagian kecil dari masalah-masalah serius tentang penghormatan dan penghargaan pada perempuan.
Masih Suram
Di berbagai belahan dunia, perempuan masih berjuang untuk dihargai secara manusiawi dan beradab. Di Pakistan dan Afganistan, sekadar contoh, perempuan menjadi target kekerasan karena alasan mereka adalah perempuan dan ingin berperan bagi kemajuan komunitas.
Sejumlah perempuan yang menjadi polisi, tokoh hak asasi manusia, dan pengerak di komunitas di Afganistan menjadi target pembunuhan atas alasan-alasan yang tidak bisa diterima atas dasar nilai-nilai kemanusiaan.
Di Pakista, kisah heroik Malala Yousafzai adalah contoh bertapa beratnya perempuan berjuang untuk hak-hak mereka. Sosok Malala mungkin menarik karena kegigihannya dan menjadi pahlawan yang dikenal di dunia. Tetapi beribu-ribu anak seusianya masih menghadapi masalah. Di Pakistan bahkan harus ada gerakan menyayangi perempuan, karena masifnya pelecehan pada perempuan.
Laporan tentang perbudakan di dunia moderen yang menggambarkan situasi yang justru lebih buruk dari perbudakan di abad ke-17 dialami sebagian besar oleh perempuan. Dan di banyak negara hak-hak perempuan tidak sama dengan hak-hak yang dimiliki laki-laki, hanya karena mereka berbeda jenis kelamin dengan laki-laki.
Sebuah Kesadaran
Di sisi lain, ada kesadaran besar bahwa perempuan mempunyai peran yang penting dam kinerjanya diakui tak bisa diabaikan. PBB telah merencanakan untuk membantu berbagai negara merekrut polisi perempuan untuk menjamin hak-hak mereka.
Dalam menjalankan tugas menjaga perdamaian, ada hal-hal yang tampaknya lebih efektif dikerjakan perempuan. Dan karenannya, PBB merancang untuk mengirim lebih banyak pasukan penjaga perdamaian perempuan, dan tugas-tugas kemanusiaan oleh perempuan.
"Pemberdayaan perempuan menjamin hak-hak asasi manusia dan mengatasi diskriminasi dan kekerasan yang mereka hadapi, dan sangat penting untuk kemajuan bagi seluruh keluarga manusia," kata Ban dalam sebuah pernyataan beberapa waktu lalu. Ini sebuah pengakuan yang didasari pengalaman di berbagai negara.
Abad Womenomic
Pada bulan Mei, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, dalam pidato di Majelis Umum PBB menegaskan pentingnya perrhatian pada perempuan. Dia mencatat pertumbuhan ekonomi dan upaya mengatasi kemiskinan tengah ditunjukkan oleh wajah-wajah perempuan dan kinerja mereka.
Dia menegaskan tentang investasi bagi perlindungan hak dan pendidikan perempuan akan menjamin pembangunan yang berkelanjutan. Pernyataan itu ditegaskan sebagai pengalaman Jepang dalam kerja sama pembangunan di banyak negara.
Abe, bahkan, menyebutkan abad ke-21 ini adalah abad perempuan. Ekonomi dunia akan didorong oleh apa yang dia sebut sebagai womenomic. Hal ini berarti harapan sekaligus tantangan untuk kemajuan perempuan.
Apa yang diungkapkan oleh Shinzo Abe, sebenarnya merupakan pengalaman yang umum. Banyak program-program community development yang justru bergerak atas inisiatif dan kreativitas perempuan. Ada hal-hal yang membuat karakter ”perempuan” adalah aset yang tidak dimiliki para lelaki dan menjadi kunci keberhasilan. Program-program kesehatan, terutama untuk bayi dan anak-anak yang sangat penting bagi masa depan sebuah bangsa, nyaris sepenuhnya di tangan perempuan.
Oleh karena itu, Hari Ibu seharusnya tak lagi kita catat seperti kali ini dengan kata-kata yang memiluka tentang nasib perempuan, terutama yang didera karena keperempuanan mereka. Seharusnya hari seperti ini tak lagi dipakai untuk memberi peringatan karena catatan yang terus buruk tentang kondisi perempuan.
Kita mengharapkan hari peringatan seperti ini untuk merayakan; merayakan peran perempuan yang sama pentingnya dengan peran kaum laki-laki. Merayakan kemajuan di mana perempuan dengan kekhasan dan perbedaan dengan laki-laki adalah dasar dari kemitraan yang sejajar. Dan sama sekali tidak ada alasan menempatkannya lebih rendah; sesedikit apapun.
Joe Biden Angkat Isu Sandera AS di Gaza Selama Pertemuan Den...
WASHIGTON DC, SATUHARAPAN.COM-Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, mengangkat isu sandera Amerika ya...