Natal Sebagai Cerita
SATUHARAPAN.COM – Tiba-tiba teman saya bertanya, apakah semua cerita Natal yang ditulis di Alkitab memang benar-benar terjadi.
“Maksudmu?” tanya saya, mencari kejelasan. Saya melihat wajahnya terlihat bingung. Tampaknya ia sedang berusaha keras mencari jawaban atas pertanyaan yang ia kemukakan itu.
“Sungguh-sungguh terjadi seperti yang ditulis dalam Alkitab,” katanya. “Bahwa Yesus memang dilahirkan oleh seorang perawan, tanpa pernikahan. Bahwa Yesus dilahirkan di kandang, ada bintang yang menaunginya, ada tiga orang Majus yang datang ke Betlehem, dstnya.”
Saya memandanginya lagi, sembari mereka-reka jawaban apa yang akan saya berikan. Jadi, saya memutuskan bertanya lagi, “Pentingkah itu bagimu?”
“Maksudmu?” giliran dia yang bertanya bingung. “Tentu penting sekali. Bukankah dengan itu saya jadi tahu apakah cerita Alkitab itu benar atau tidak?”
Obsesi Kebenaran
Saya lupa apa jawaban yang akhirnya saya berikan padanya. Namun saya ingat bagaimana raut mukanya saat bertanya soal “kebenaran” cerita Natal tadi. Sebab mimiknya membuat saya terkejut. Seakan-akan soal “kebenaran” cerita tadi merupakan sesuatu yang sangat penting baginya, seperti pertaruhan hidup-mati.
Dan teman saya tidak sendirian. Ia, boleh dibilang, mencerminkan cara pandang kebanyakan orang saat berhadapan dengan cerita-cerita Natal. Ada semacam “obsesi kebenaran” yang mendorong orang untuk menemukan bukti-bukti tak terbantahkan apakah cerita Natal sungguh-sungguh terjadi seperti yang ditulis di Injil, atau tidak.
Di situ terselip asumsi, satu-satunya tolok ukur apa yang disebut “kebenaran” adalah “sungguh-sungguh terjadi”, wie es eigentlich gewesen, untuk mengutip doktrin Leopold von Ranke (1795 – 1886), sejarawan Jerman yang mahsyur. Ranke memakainya sebagai tolok ukur kajian sejarah: sejarah tidak lain dari laporan tentang peristiwa-peristiwa yang “sungguh-sungguh terjadi”. Jika ada hal-hal yang tidak “sungguh-sungguh terjadi”, maka hal-hal seperti itu masuk dalam kategori “fiksi”, “cerita”, “dongeng”, dll.
Mungkin karena “obsesi kebenaran” itulah sehingga ada ratusan, ribuan, atau bahkan ratusan ribu penelitian dilakukan untuk membuktikan apakah cerita-cerita dalam Alkitab, termasuk cerita Natal, memang sungguh-sungguh terjadi seperti yang dituliskan. Misalnya, benarkah memang ada bintang besar yang menaungi kandang di mana bayi Yesus dilahirkan, sehingga dapat menuntun tiga orang Majus yang datang dari negara lain ke kandang itu? Benarkah ada paduan suara malaikat mengunjungi para gembala untuk mengabarkan kelahiran Sang Imanuel? Dan seterusnya, dan sejenisnya.
Belum lagi cerita-cerita tambahan seputar Natal. Salah satu tokoh paling terkenal, tentu saja, si gendut Santa Claus dan topinya yang kerap bikin MUI marah. Padahal, seperti dikatakan Ahok, bahkan di Injil tidak ditulis soal Santa Claus. Namun setiap kali menjelang Natal, hampir di seluruh saluran televisi muncul film-film tentang figur Santa Claus, sekaligus pertanyaan apakah figur itu nyata, atau sekadar dongeng. Atau kisah Artaban – Anda tahu dia? Ini cerita tentang orang Majus keempat yang tidak sempat datang ke kandang Yesus. Cerita tentang Artaban mulai mahsyur semenjak Henrik van Dyke menuliskan novel pendeknya, The Story of the Other Wise Man, yang terbit pertamakali 1895.
Cerita Injil
Saya tidak tahu apakah Anda termasuk orang yang seperti teman saya tadi, yang dihinggapi oleh “obsesi kebenaran”. Tidak ada yang salah dengan obsesi itu. Silakan saja mencari “kebenaran” tadi.
Bagi saya sendiri, Natal adalah sebuah cerita. Dan terhadap sebuah cerita, orang tidak perlu repot-repot mencari “kebenaran” ceritanya. Sama seperti ketika membaca novel, orang tidak perlu mencari tahu apakah cerita dalam novel itu sungguh-sungguh terjadi wie es eigentlich gewesen atau tidak. Terhadap tetralogi Pramoedya Ananta Toer yang mahsyur, misalnya, sungguh percuma bertanya apakah Minke memang ada dalam sejarah di Indonesia, dan apakah kisah cintanya dengan Annelies memang seindah seperti yang dituliskan Pramoedya.
Boleh jadi ibarat yang saya kemukakan salah. Bukankah cerita Injil sama sekali lain dengan novel? Memang benar. Tetapi para penulis Injil, saat menuliskan cerita-cerita mereka, tidak pernah berobsesi menuturkan fakta-fakta ala Ranke. Injil bukanlah laporan faktual, melainkan lebih sebagai “kesaksian” tentang pengalaman para murid berjumpa dengan gerakan yang dimulai oleh Yesus dari Nazaret di Palestina, sekitar dua ribu tahun lalu.
Ambillah contoh tentang cerita Natal. Bila Anda membaca keempat Injil yang sampai sekarang ada, ternyata Markus dan Yohanes sama sekali tidak menuturkan cerita Natal! Padahal, kata para ahli, Markus adalah Injil pertama yang ditulis, sedang Yohanes terakhir. Seluruh cerita Natal yang selama ini kita kenal hanya ada dalam tuturan Matius dan Lukas.
Bukankah itu aneh? Jika Injil memang dimaksudkan sebagai – katakanlah – “biografi faktual Yesus”, maka seharusnya tuturan Injil dimulai dengan kelahirannya. Tidak mungkin sebuah “biografi” justru tidak mencantumkan kelahiran sang tokoh yang hendak dikisahkan!
Imanuel, Magnificat dan Perubahan Radikal
Namun Injil memang bukan “biografi” seperti yang dikenal dalam dunia modern. Cerita Injil, seperti sudah dikemukakan di atas, lebih merupakan catatan tentang “kesaksian” perjumpaan para murid dengan gerakan Yesus – suatu perjumpaan yang menyingkapkan tabir tentang makna hidup dan karenanya mengubah seluruh kehidupan mereka.
Dan “kesaksian” itu pula yang dicerminkan dalam kisah-kisah tentang kelahiran Yesus, yang kemudian menjadi cerita Natal. Memakai ungkapan Raymond E. Brown, S.S. (1928 – 1998), penafsir Injil yang paling menaruh perhatian pada soal ini, cerita-cerita kelahiran Yesus merupakan “Injil dalam bentuk pendek” (the Gospel in miniature).
Ringkasnya begini: Pada Matius, kesaksian itu tampak dalam pemberitaan tentang identitas sang bayi Yesus sebagai Imanuel, yakni “Allah-beserta-kita”. Sementara pada Lukas, lewat Magnificat Maria, pengalaman tentang penyertaan Allah itu diletakkan dalam sejarah Israel, dan perubahan radikal yang diakibatkan oleh keterlibatan Allah: “Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa” (Luk. 1: 52-53).
Kedua kutub pengalaman tadi, Imanuel dan Magnificat, serta tuntutan perubahan radikal yang dibawa olehnya, membuat cerita Natal selalu memesona sampai sekarang, terlepas dari soal “kebenaran” ceritanya maupun segala pernak-pernik perayaannya. Sebab di dalamnya kita menemukan “Injil”, yakni “kabar baik” bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan umat-Nya.
Selamat merayakan Natal. Dan semoga teman saya membaca tulisan ini, lalu menemukan jawaban atas pertanyaannya.
Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litbang-PGI, Jakarta.
Editor : Trisno S Sutanto
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...