Perubahan Iklim dan Kelapa Sawit
SATUHARAPAN.COM - Sejak Senin (30/11) hingga Jumat (11/12), delegasi dari 195 negara di dunia – termasuk Indonesia – berkumpul di Le Bourget, Perancis. Mereka menghadiri Konferensi Perubahan Iklim yang diharapkan menghasilkan kesepakatan mengikat secara universal, yakni penurunan emisi karbon dari 195 negara anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).
Dunia berjuang menjaga kenaikan suhu Bumi tak lebih dari 2 derajat celsius sejak Revolusi Industri, 1850. Pertemuan Para Pihak (COP) Ke-21 Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (21st Session of the Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change), kali ini amat menentukan. Kesepakatan Paris akan memberikan dampak yang luar biasa terhadap mekanisme dan cara-cara pembangunan ekonomi dunia yang rendah emisi.
Indonesia yang sudah punya komitmen pengurangan gas rumah kaca hingga 29 persen pada 2030, dihadapkan pada posisi sulit. Selain peta jalan yang belum jelas, Indonesia kerap dilanda kebakaran hutan. Kebakaran tahun ini – untuk pembukaan lahan baru perkebunan sawit – oleh World Resources Institute telah mengemisikan karbon sangat besar, lebih dari 1 miliar ton, melebihi emisi bahan bakar fosil gabungan Jerman dan Belanda tahun 2013.
Menghadapi dilema
Pemerintah Indonesia menghadapi dilema terkait perkembangan industri perkebunan kelapa sawit. Bak buah simalakama! Di satu sisi diandalkan sebagai pendulang devisa karena nilai ekspor emas hijau ini bertambah-tambah setiap tahun. Di sisi lain kerap mendatangkan cercaan dari negara-negara tetangga karena menetaskan kabut asap dari pembakaran lahan. Masyarakat di negara-negara maju pun kian menyudutkan minyak sawit Indonesia karena industrinya merusak lingkungan hidup.
Produsen minyak sawit mentah (CPO) terpapar ancaman ganda. Selain permintaan melemah, kini asap pekat tengah menggelayuti bisnis sawit seiring dengan perkembangan perkebunan kelapa sawit yang amat pesat di Indonesia. Saat ini mencapai 14,3 juta hektar dan terluas di dunia (Sawit Watch, 2014). Tingkat deforestasi dan perubahan lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit yang sangat luas itu mencapai angka yang cukup besar. Data yang dilansir Bank Dunia, 70 persen perkebunan kelapa sawit di Indonesia dibangun dari lahan yang sebelumnya merupakan hutan alam dan 30 persen dari lahan gambut. Ekosistem kedua jenis lahan ini sudah terganggu dan diduga menjadi pemicu pemanasan global dan kontribusinya dalam proses perubahan iklim kian massif.
Meski setiap tahun diperingati dan dirayakan “hari lingkungan hidup” yang mendiskusikan tentang pengelolaan SDA ke arah yang lebih baik untuk kehidupan, pembakaran hutan dan lahan untuk pembukaan perkebunan sawit tetap berlangsung. Indonesia pun dikenal sebagai negeri asap.
Kepulan asap tebal selama 3 bulan sempat merambat ke negeri jiran. Kualitas udara di ibu kota Malaysia misalnya mencapai level "sangat tidak sehat" yang diakibatkan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan. Polusi udara di Kuala Lumpur sempat melebihi angka 200 dalam indeks kualitas udara. Hal yang sama terjadi di Singapura, kualitas udara memasuki level "sangat tidak sehat” yang otomatis memicu penutupan sejumlah sekolah.
Ekspor asap ini seakan kontras dengan program dan slogan ekonomi hijau atau ”green economy” yang sudah berkumandang beberapa tahun terakhir. Green economy dikampanyekan guna mengawal pembangunan berkelanjutan, mengurangi angka kemiskinan dan menghindari kehancuran planet Bumi. Namun jika kegiatan pembangunan ekonomi nasional masih terus seperti biasa saja (business as usual), yakni upaya peningkatan pendapatan asli daerah bertumpu pada industri ekstraktif dengan watak yang rakus pada sumber daya alam, maka secara perlahan tapi pasti bumi menuju kehancuran. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia dituduh berkontribusi untuk proses kehancuran itu.
Pengalaman berbicara, beberapa tahun lalu pemerintah Indonesia gagal mendesak AS, UE, dan Australia untuk mengakhiri kampanye negatif minyak sawit. Kegagalan diplomasi Indonesia ini terjadi saat para menteri perdagangan Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) bertemu di Surabaya pada awal 2013. Indonesia tak berhasil memasukkan minyak sawit mentah (CPO) ke dalam daftar produk ramah lingkungan (environmental goods list/EGs list).
Kegagalan ini mengingatkan kita pada kampanye negatif minyak sawit tahun 1980-an, saat industri perkebunan kelapa sawit mulai tumbuh. Pemerintah Amerika Serikat lewat American Soybean Association menyerukan agar tidak mengonsumsi minyak sawit. Konon, penelitian yang dilakukan ahli pangan di AS pada era itu membuktikan asam lemak yang bersemayam di minyak sawit menyebabkan penyakit jantung. Namun belakangan, dari serangkaian penelitian lanjutan oleh ahli pangan dan kesehatan di negara-negara maju selain AS minyak sawit terbukti sebagai sumber minyak sehat karena memiliki kandungan asam lemak omega Sembilan dan sejumlah vitamin antioksidan.
Lantas tema kampanye bergeser. Perkebunan kelapa sawit Indonesia dituduh penyebab pemanasan global. Upaya perluasan perkebunan kelapa sawit ditengerai mengeksploitasi hutan dengan cara dibakar. Industri perkebunan kelapa sawit diberi label perusak lingkungan, mengusir orang utan, dan menjadi penyebab utama deforestasi yang memproduksi gas rumah kaca (GRK) yang memicu pemanasan global. Indonesia pun diberi peringkat ketiga sebagai negara produsen terbesar GRK setelah Cina dan Amerika Serikat.
Penempatan perkebunan sawit sebagai biang pemicu pemanasan global diduga dilatarbelakangi persaingan bisnis minyak nabati. Dalam neraca untung-rugi, jujur dikatakan minyak sawit lebih unggul ketimbang minyak sayur seperti minyak kedelai dan jagung. Kelapa sawit unggul dalam produktivitas yakni 5.830 liter per hektare, jauh melampaui produktivitas minyak kedelai yang hanya 450 liter per hektare. Meski harganya lebih murah, minyak sawit lebih unggul dalam kualitas gizi. Emas hijau andalan ekspor Indonesia ini mengandung vitamin antioksidan betakaroten dan tokoferol dan menjadi sumber pangan nutrasetikal yang baik bagi kesehatan konsumen. Dengan berbagai keunggulan itu, kini minyak sawit menempati posisi teratas dalam pangsa minyak nabati mengalahkan minyak kedelai.
Sebagai penghasil minyak kedelai terbesar di dunia, AS dan UE tentu tidak ingin pangsa pasarnya terus tergerus. Maka diangkatlah isu lingkungan untuk menjatuhkan popularitas minyak kelapa sawit. Kampanye negatif itu sesungguhnya tidak semuanya benar. Perluasan lahan sawit dari hutan alam atau lahan gambut yang memproduksi GRK, dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya produk AS dan UE, emisi sawit diduga lebih kecil. Pasalnya perkebunan kelapa sawit menyerap karbon dari indeks luas daun yang lebih besar dibanding tanaman kedelai.
“Sustainable Palm Oil”
Patut diakui komersialisasi kelapa sawit di Indonesia yang sudah berusia 105 tahun telah menetaskan berbagai masalah seperti konflik lahan dan pembantaian orangutan. Terakhir adalah masalah perubahan iklim akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit. Perkebunan sawit dinilai telah menyumbang 20 persen emisi karbon global. Kampanye kerusakan hutan yang terus digulirkan sejumlah LSM asing menempatkan Indonesia sebagai mesin perusak hutan tercepat di dunia. Rusaknya hutan dituding sebagai penyebab utama pemanasan global.
Tentang alih fungsi hutan guna percepatan perluasan perkebunan sawit ada yang tidak adil. Penilaian kemampuan hutan Indonesia untuk meredam secara alami efek gas rumah kaca acap disembunyikan. Yang ditonjolkan adalah sikap menyalahkan Indonesia karena memperluas perkebunan kelapa sawit secara cepat dan dianggap lalai menjaga kelestarian hutannya.
Di sisi lain negara-negara maju yang kehilangan hutannya sejak revolusi industri periode tahun 1750-1850 tidak disebut sebagai penghasil gas rumah kaca terbesar dunia. Hutan di Indonesia kini dijadikan tumpuan menyerap karbon buangan negara maju. Kerusakan hutan menjadi alasan menghambat ekspor produk CPO asal Indonesia karena dinilai berkontribusi terjadinya pemanasan global.
Pemerintah patut menyadari kampanye negatif minyak kelapa sawit Indonesia tak cukup hanya dilawan dengan mengatakan itu bagian dari persaingan bisnis minyak nabati. Namun, citra positif industri sawit harus dibangun secara baik. Tendangan bola pertama sudah dilakukan pemerintah dengan membidani lahirnya Panduan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) pada 2011.
ISPO dihadirkan sebagai bentuk komitmen bagi seluruh stakeholder di perkebunan kelapa sawit untuk mengelola perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan (sustainable). Pemerintah harus dapat menjelaskan dan membuktikan secara ilmiah bahwa perkebunan kelapa sawit dapat menjaga lingkungan dan melindungi masyarakat setempat. Dengan standar ISPO Indonesia menunjukkan niat baik dalam memproduksi minyak sawit secara berkelanjutan dengan menjaga kelestarian hutan sesuai tuntutan masyarakat global.
Satu hal yang sering dilupakan para pengusaha sawit adalah agribisnis yang satu ini baru bisa membesarkan kalangannya sendiri dan sejumlah kecil petani mandiri. Masih banyak petani kelapa sawit dan buruh lepas yang masih miskin karena belum terangkat kesejahteraannya. Mereka hanya sekedar bagian dari sistem pendorong peningkatan nilai ekspor CPO, tetapi belum ikut menikmati tetesan keuntungannya.
Masyarakat berharap akan muncul komitmen baru untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sehingga laju perubahan iklim bisa direm. Perluasan perkebunan kelapa sawit menuntut perubahan perilaku dan pola konsumsi yang selama ini masih berbasis ekonomi kapitalistik menjadi ekonomi hijau yang pro environment guna mengakhiri bencana asap di masa mendatang. Masa depan bangsa ini harus diarahkan ke Indonesia yang berkelanjutan (sustainable), sejahtera dan berkeadilan.
Penulis adalah Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara. Anggota Dewan Penasehat Apkasindo (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia) Sumatera Utara.
Editor : Trisno S Sutanto
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...