Refleksi Akhir Tahun: Sejarah dan Makna Kebangsaan Kita
SATUHARAPAN.COM - Bagaimana menimbulkan rasa dan kegairahan berbangsa di tengah-tengah keragaman yang luar biasa (seperti Indonesia) ini tidaklah mudah. Indonesia sebagai satu bangsa adalah novum (sesuatu yang baru) di atas ranah sejarah ini.
Sebelumnya, yang mendiami Nusantara ini adalah bangsa-bangsa (Volkeren). Ada bangsa Jawa, Sunda, Madura, Bali, Sasak, Sumba, Toraja, Batak, Nias, Papua, dan seterusnya. Bangsa-bangsa ini pada umumnya mengungkapkan dirinya dalam bentuk pemerintahan kerajaan yang dipimpin raja dan/atau ratu. Setidak-tidaknya ada dua kerajaan yang sangat dikenal di dalam sejarah Nusantara ini yang diklaim sebagai meliputi seluruh wilayah Indonesia yaitu: Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Tetapi apakah dua kerajaan tersebut sungguh-sungguh merefleksikan rasa kebangsaan, rasanya tidak. Saya malah berpendapat bahwa di dalam dua kerajaan itu masih terasa imperialisme (yang samar-samar).
Di pulau Sabu, sampai sekarang masih ada yang disebut “Wawi Maja”. Arti harafiahnya: Babi Mojo. Konon ini berasal dari era Kerajaan Majapahit yang setiap tahun mengunjungi pulau tersebut untuk mengumpulkan upeti. Salah satu upetinya adalah babi. Makanya babi tersebut disebut “babi maja”. Jelas saja dalam sistem seperti itu sangat sulit kita bicara mengenai rasa persatuan. Apalagi gairah kebangsaan. Sejarah kolonialisme dan imperialisme Belanda juga bukan sejarah kesatuan dan nasionalisme. Itu hanya kesatuan administratif saja. Bahkan ada kecenderungan Belanda memecah-belah Nusantara ini, saling membenturkan kerajaan-kerajaan yang ada. Politik divide et impera. Ketika meletus perang Padri di Sumatera Barat, Belanda mendukung kaum adat melawan kaum “pembaharu”. Dalam perang Bone, Belanda mendukung Arupalaka, dan seterusnya. Intinya, selama masa-masa kerajaan dan penjajahan Belanda tidak ada rasa persatuan.
Di tengah-tengah keadaan seperti ini memang muncul para pejuang kemerdekaan, seperti Diponegoro, Pattimura, Imam Bonjol, dan seterusnya. Tetapi apakah semua pejuang kemerdekaan itu telah mempunyai visi nasional, masih sangat diragukan. Ada kesan mereka hanya memperjuangkan kepentingan-kepentingan daerah dan lokusnya sendiri-sendiri, sehingga sangat gampang bagi Belanda untuk mematahkannya. Baru pada tahun 1908, gerakan nasionalisme yang bersifat modern muncul dengan didirikannya Budi Utomo. Inilah sebuah gerakan pendidikan yang menanamkan rasa kebangsaan dan mencoba memperjuangkan kemerdekaan dengan cara-cara modern. Boleh dikatakan, ini sebuah tonggak sejarah penting di dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan di dalam menanamkan rasa kebangsaan (kendati waktu itu juga terkesan masih sangat Jawa sentris).
Tonggak sejarah kedua adalah “Sumpah Pemuda” yang diucapkan oleh para pemuda(i) dari seluruh Indonesia. Bunyi sumpah itu: “Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa yaitu Indonesia”. Ini luar biasa berani dan visionernya di tengah-tengah kekuasaan imperialisme Belanda waktu itu. Tetapi memang merupakan ironi apabila dewasa ini orang lebih merasa afdol apabila berbicara bahasa Inggris, kendati belepotan di tempat-tempat yang tidak tepat. Tentu saya tidak memaksudkan untuk tidak berbicara bahasa Inggris, karena bagaimanapun ini bahasa internasional. Namun kalau melakukannya di luar proporsi, tentu harus dipertanyakan. Pantaskah misalnya, segala nama gedung dan petunjuk lalu-lintas di negeri ini dipergunakan bahasa Inggris, ketika bahasa Indonesia justru digandrungi di mana-mana di seluruh dunia ini?
Pancasila
Tonggak sejarah penting lainnya adalah lahirnya Pancasila, sebagaimana terefleksi dalam pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 di depan “Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia”. Pada masa-masa sulit dan kritis itu, dipertanyakan apa dasar dari negara yang bakal didirikan setelah “Perang Asia Timur Raya” usai. Beberapa orang telah menyampaikan pandangannya. Pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno tampil menyampaikan pidatonya yang konon diucapkan tanpa naskah tertulis. Itulah yang belakangan dikenal sebagai “Pidato lahirnya Pancsila”.
Bung Karno membuka pidatonya dengan mempertanyakan apakah sesungguhnya yang disebut “bangsa” itu. Dengan mengutip Ernst Renan, Otto Bauer, dan beberapa ahli lainnya, Bung Karno merumuskan bahwa bangsa terjadi apabila ada “kehendak untuk bersatu”, dan bangsa yang berkehendak untuk bersatu ini “mempunyai nasib yang sama”. Bangsa-bangsa di Nusantara mempunyai nasib yang sama karena telah mengalami dan berada di bawah tekanan penjajahan selama ratusan tahun, dan sekarang juga secara bersama-sama bertekad untuk bersatu.
Maka tidak aneh apabila Bung Karno mengemukakan “Prinsip Kebangsaan” sebagai “sila” pertama. Suasana batin dari para pendiri bangsa yang mau bersatu dan mendirikan negara Indonesia memang masih terkendala dengan perbedaan pandangan mengenai dasar negara, setidak-tidaknya seperti tergambar dalam dua “aliran”: Kebangsaan dan Islam. Sebagai negeri dengan penduduk penganut Islam terbesar dapatlah difahami keinginanan untuk mendirikan negara atas dasar Islam tersebut. Tetapi pada pihak lain, para penganut faham kebangsaan berpendapat, bahwa kendati Islam merupakan agama yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia, namun tidak semua suku-suku bangsa Indonesia merupakan golongan minoritas di antara mayoritas (Islam). Banyak suku-suku bangsa di Indonesia bahagian Timur yang beragama Kristen misalnya sama sekali tidak merasa diri minoritas di antara penduduk. Malah mereka mayoritas. Lagi pula di kalangan penganut aliran kebangsaan, corak negara kebangsaanlah yang lebih dapat diterima oleh seluruh rakyat Indonesia.
Maka pidato Bung Karno itu dirumuskan oleh “Panitia Sembilan” sebagaimana tercermin dalam “Piagam Djakarta” (Djakarta Charter). Ada kalimat di situ yang belakangan merupakan ganjalan sesudah proklamasi kemerdekaan yaitu, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluknya...” Rumusan ini sesungguhnya merupakan kompromi antara dua “aliran” tadi.
Namun pada tanggal 18 Agustus 1945 (sehari sesudah Proklamasi) ketika UUD hendak dirumuskan, rumusan kompromi ini ditinjau kembali (atas desakan tokoh-tokoh Indonesia Timur). Dalam rumusan resmi sekarang sebagaimana tertera dalam Pembukaan UUD 1945, kalimat itu telah diubah dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, tanpa embel-embel tadi. Inilah rumusan yang sangat penting, yang sekaligus juga memperlihatkan kearifan para pendiri bangsa itu.
Di dalam Pembukaan itu juga terkandung sila-sila Pancasila, kendati istilah “Pancasila” sendiri tidak tercantum. Dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945 itu ia memakai istilah “Pancasila” (yang konon merupakan usul dari seorang ahli bahasa, tanpa menyebut nama). Ia, kemudian menyederhanakan Pancasila menjadi “Trisila”, dan lebih disederhanakan lagi menjadi, “Gotong Royong”. Inilah hakekat asli bangsa ini, (bahkan identitasnya) yang masyarakatnya menjadikan gotong royong sebagai pandangan hidup dan praksis sekali gus. Belakangan juga kita mengenal semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang diambil dari Pujangga kuno Mpu Tantular.
Kendati rumusan itu sudah ada dan diterima secara resmi, namun sejarah juga memperlihatkan bahwa tidak semua orang menerimanya. Masih ada polarisasi-polarisasi. Polarisasi lama (“Kebangsaan” versus “Islam”) muncul secara baru, seperti misalnya dalam pendirian Negara Islam Indonesia (NII) yang diproklamirkan oleh Kartosuwiryo (di Jawa Barat) dan didukung oleh Kahar Muzakar (dari Sulawesi Selatan). Dewasa ini munculnya berbagai aliran baru yang berasal dari luar yang, menurut Gus Dur bersifat wahabi, memang merupakan persoalan yang tidak bisa dianggap enteng. Terakhir kita mendengarkan bahwa unsur-unsur ISIS telah memasuki Indonesia juga.
Sebagaimana telah dikemukakan, Proklamasi Kemerdekaan tidak dengan sendirinya diterima. Upaya-upaya memecah-belah tetap ada, baik dari dalam maupun dari luar. Belanda tidak mengakuinya. Van Mook memperkenalkan politik divide et impera. Konperensi Meja Bundar di Den Haag, Negeri Belanda hanya mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS). Papua belum dimasukkan dalam persetujuan itu.
Di mata Belanda (juga sampai sekarang) kemerdekaan Indonesia bukanlah tanggal 17 Agustus 1945, tetapi 27 Desember 1949 ketika persetujuan KMB itu diterima dan kedaulatan diserahkan. Istilah yang dipakai Belanda adalah “penyerahan kedaulatan” (souvereiniteits-overdraag), sedangkan Indonesia lebih suka memakai istilah “pengakuan kedaulatan” (souvereniteits-erkenning). Begitu juga penyerangan Belanda kepada Pemerintah Republik di Jogyakarta, oleh Belanda disebut “aksi polisi” (politioneele actie) sedangkan kita memakai istilah “agresi militer” (militairre agressie). Ini semua dilatar-belakangi oleh pandangan yang tidak mengakui keberadaan republik sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 itu. Dari dalam negeri juga banyak sekali unsur-unsur yang menghantam republik, sebagaimana telah dicatat oleh buku-buku sejarah.
Pada 1950 Bung Karno menegaskan dan mengumumkan pembubaran Uni Indonesia-Belanda sebagai salah satu hasil KMB. Dengan sendirinya RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke NKRI sebagaimana dicita-citakan dalam Proklamasi 17 Agustus 1945 itu.
Kita tidak akan mengemukakan sejarah lengkap di sini sebab telah banyak ditulis. Cukup beberapa bagian penting saja. Kita memasuki Orde Baru (1965) dengan segala kesulitannya, di mana pembangunan dicanangkan. Pancasila ditafsirkan secara sempit bahkan cenderung disalahgunakan untuk mempertahankan kekuasaan yang penuh KKN oleh Orde Baru. P4 hanya bersifat indoktrinatif. Bahkan ada kecnderungan, “Pancasila membunuh Pancasila”.
Sekarang kita berada dalam “Orde Reformasi”. Ada kebebasan berpendapat sebesar-besarnya. Demokrasi luarbiasa dipromosikan. Tetapi juga (dalam rangka kebebasan dan demokrasi ini) orang boleh membentuk apa saja dan berpendapat apa saja. Kita dikuattirkan oleh munculnya primodialisme agama, suku, etnis secara baru yang dimanipulasi sedemikian rupa oleh orang-orang tertentu untuk memperoleh kekuasaan politik sesaat. Kita harus sungguh-sungguh siuman untuk memahami semua ini.
Tugas Kita?
Jelaslah bahwa tantangan dan tugas kita sangat berat. Kita harus kembali kepada jiwa Proklamasi yang menegaskan rasa kebangsaaan itu. Ben Anderson dari Cornell University mengatakan, kebangsaan itu adalah projek bersama (Nationalism is a common project). Pertanyaannya adalah, adakah kita terhisab kepada yang membangun proyek bersama ini atau justru sebaliknya, yang menggerogotinya? Pertanyaan lain, adakah kita masih merasa senasib ketika sebagian kecil orang menikmati kekayaan republik ini dan sebagian besarnya masih berkutat dengan kemiskinan. Adakah kita masih merasa senasib ketika agama dipermainkan-mainkan guna menghalang-halangi orang lain yang dianggap pandangannya tidak sama. Ada yang mengklaim kebenaran sebagai miliknya sendiri dan itu dipaksakan kepada orang lain. Ini semua yang sedang kita alami sekarang setelah merdeka 70 tahun.
Melihat semua gejala-gejala yang menguatirkan ini, patutlah ditegaskan agar nilai-nilai Pancasila dihidupkan lagi dan diterapkan pada aras praksis. Nilai-nilai itu mestilah difahami dalam “satu nafas”. Generasi muda adalah generasi penerus bangsa. Maka kepada mereka mestilah teladan diperlihatkan, yaitu teladan yang baik yang menghormati segala kesepakatan bangsa sebagaimana dilakukan oleh para pendiri negeri dan republik ini. Generasi muda membutuhkan teladan, bukan teori dan indoktrinasi.
Penulis adalah Mantan Ketua Umum PGI (2004-2014), Ketua Majelis Pertimbangan PGI (2014-2019), Pendeta (Emeritus) Gereja Kristen Sumba. Teks ini pernah disampaikan dalam pertemuan pemuda gereja di Kaimana, Papua.
Editor : Trisno S Sutanto
Puluhan Anak Muda Musisi Bali Kolaborasi Drum Kolosal
DENPASAR, SATUHARAPAN.COM - Puluhan anak muda mulai dari usia 12 tahun bersama musisi senior Bali be...