Renungan Awal Tahun: Jangan Lupakan Paniai, Jokowi!
SATUHARAPAN.COM – Rangkaian gebrakan yang dilakukan Presiden Jokowi akhir Desember kemarin, termasuk menyongsong awal tahun baru di Raja Ampat, menimbulkan banyak decak kagum. Harapan masyarakat Papua kembali bersemi. Tetapi masih ada soal mengganggu: Tragedi Paniai yang sudah setahun terbengkalai.
Bulan Desember lalu, tepatnya tanggal 8 Desember 2014, empat orang pemuda Papua di Paniai terenggut nyawanya setelah diterjang timah panas aparat TNI. Setidaknya 17 orang lainnya dinyatakan terluka ketika itu. Mereka yang meninggal adalah anak-anak Papua tanggung yang masih berusia belasan tahun. Kelimanya masih tercatat sebagai siswa kelas 1 dan kelas 3 di SMA Negeri 1 Paniai, Papua.
Peristiwa tragis ini bermula ketika sebuah mobil tanpa menyalakan lampu melewati sekelompok anak muda yang bergerombol di depan sebuah pondok Natal. Ketika itu, waktu sudah menjelang dini hari. Karena dianggap bisa membahayakan pengguna jalan lain, tiga anak muda kemudian menghentikan mobil tersebut dan meminta mereka untuk menyalakan lampu mobilnya. Tidak terima dengan hal tersebut, pemilik mobil yang diduga adalah anggota TNI lantas menuju markas TNI. Kemudian balik lagi dengan sepasukan aparat keamanan bersenjata lengkap mencari, mengejar dan menghajar sampai pingsan seorang anak muda yang menghentikan mobil tadi. Dua orang anak muda lainnya sempat melarikan diri.
Keesokan harinya warga berkumpul dan meminta pertanggungan jawab aparat keamanan atas perlakuan mereka terhadap anak muda yang menjadi korban tersebut. Sebuah mobil yang diidentifikasi sebagai mobil yang semalam mengangkut sekelompok tentara untuk menganiaya korban dibakar oleh massa. Masyarakat yang bergerombol dan masih meminta pertanggungjawaban aparat keamanan tiba-tiba dihujani oleh peluru panas. Empat orang meninggal dunia seketika, satu lainnya meninggal dunia ‘menyusul’ sahabat-sahabatnya pada keesokan harinya.
Mengenaskan. Mereka mati sangat muda. Umur mereka baru 17 dan 18 tahun. Apalah yang ditakutkan para tentara pemegang bedil itu terhadap para pemuda tanggung yang ‘kencing saja belum lurus’ itu? Pelanggaran apa yang dilakukan anak-anak ingusan itu hingga tanpa ampun dikeroyok sampai pingsan oleh tentara berbadan tegap dan bersenjata laiknya preman itu? Toh mereka hanya menghentikan mobil dan mengingatkan pengendaranya untuk menyalakan lampu kendaraannya.
Masa Penantian
Rangkaian peristiwa menggiriskan itu terjadi sejak tanggal 7 hingga 8 Desember 2014. Oleh umat Kristen di seluruh dunia, waktu ini adalah minggu pertama Adven. Ini adalah masa penantian penuh harapan dan suka cita akan kedatangan Tuhan dan masa mempersiapkan Natal dengan sikap pertobatan. Pada masa minggu Adven ini, di Papua biasanya seluruh aktivitas “keduniawian” sudah mulai ditiadakan. Seluruh masyarakat di Papua yang sebagian besarnya adalah umat Kristen, baik Protestan dan Katolik larut dalam masa Adven dan persiapan menyambut Natal. Bahkan di beberapa tempat, menjelang berakhirnya bulan November, aktivitas perkantoran sudah mulai sepi.
Seluruh pojok kota sudah mulai dihiasi dengan ornamen-ornamen Natal, mulai dengan menghias dengan lampu berwarna-warni hingga membuat pohon Natal dan membangun pondok-pondok Natal. Di sepanjang jalan kita bisa temui pondok Natal, bahkan di lereng-lereng bukit. Menyanyikan lagu-lagu Natal dan kidung pengharapan. Di banyak tempat bahkan momen ini dijadian sebagai ajang silaturahmi dengan mengirimkan lagu-lagu kepada individu atau keluarga tertentu. Yang menarik, ajang silaturahmi ini juga dimanfaatkan oleh masyarakat muslim untuk mengirimkan lagu dan salam damai kepada saudara dan kerabat mereka yang sedang larut dalam persiapan Natal dan Tahun Baru.
Dalam pandangan teologis Kristen, masa Adven ini bermakna sebagai panggilan pertobatan, peneguhan dan sukacita pengharapan, serta penantian yang panjang. Karena itu, perayaan Natal tidak akan lengkap tanpa ada perayaan masa Adven. Dalam suasana penuh keimanan inilah peristiwa terbunuhnya empat orang anak muda Papua itu terjadi. Masa Adven yang dipahami sebagai sukacita penyambutan kelahiran Yesus Kristus untuk keduakalinya ke muka bumi telah berubah menjadi masa duka yang teramat dalam.
Janji Jokowi
Masih dalam suasana berkabung, di bulan yang sama, kita tahu bagaimana Presiden Joko Widodo kemudian menyambangi Papua. Kehadirannya bukan secara khusus untuk blusukan melihat anak-anak dengan seragam sekolah yang tertembak mati itu. Bukan pula melihat keluarga korban yang telah kehilangan mimpi masa depannya. Apalagi untuk mengusik ‘kenyamanan’ para pelaku penembakan di sana. Pak Presiden ke Papua untuk merayakan Natal di sana sembari memberi angin segar terhadap rakyat Papua.
“Dan di tengah perayaan Natal ini, saya ingin menyampaikan penyesalan saya atas terjadinya kekerasan di Enarotali, Kabupaten Paniai, baru-baru ini. Saya ikut berempati terhadap keluarga korban kekerasan, dan saya ingin kasus ini diselesaikan secepat-cepatnya, agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang,” katanya waktu itu.
Ini adalah kalimat yang disampaikan oleh Presiden Indonesia, Joko Widodo dalam perayaan Natal Nasional di stadion Mandala, Jayapura, Papua pada 27 Desember 2014 lalu. Di luar ungkapan belasungkawa dan penyesalannya terhadap peristiwa yang telah merenggut empat anak muda Papua di Paniai tersebut, setidaknya kita juga mencatat dua point penting dari pernyataan beliau. Pertama adalah “penyelesaian kasus yang secepat-cepatnya” dan “tidak mengulangi hal yang sama di masa yang akan datang.”
Dua janji Jokowi ini tidak saja untuk mendapatkan keadilan terhadap keluarga korban, namun dalam konteks yang lebih luas, yakni penegakkan hukum terhadap pelaku pelanggar HAM di Papua. Sebelum janji ini dinyatakan oleh Presiden, berbagai lembaga telah melakukan investigasi terhadap kasus Paniai ini. Mulai dari DPR Papua hingga Komnas HAM, mulai dari masyarakat adat hingga aparat kepolisian. Simpulan sementara mereka tertuju pada point yang sama, telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus tersebut yang diduga dilakukan oleh oknum aparat TNI yang bertugas di Paniai.
Apa lacur, hasil temuan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti oleh aparat berwenang, dalam hal ini pihak kepolisian dan Komnas HAM. Terakhir, tim Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM) Kasus Paniai dimandulkan dengan tidak diberikan dana untuk bekerja. Padahal SK KPP HAM telah terbit sejak Oktober 2015 lalu. Satu tahun telah lewat, dan para pencari keadilan itu masih terbentur dengan keangkuhan tembok impunitas.
Janji Jokowi yang lain, berharap agar tidak ada lagi kasus serupa yang terjadi di kemudian hari di Papua masih jauh panggang dari api. Setahun ini, setidaknya masih terjadi peristiwa yang juga menghadirkan duka mendalam terhadap orang Papua. Sebut saja kasus Yahukimo pada 8 Maret 2015, kasus Dogiyai 26 Juni 2015, Tolikara 17 Juli 2015 dan kasus Timika pada 28 Agustus 2015. Hasil pantauan Komnas HAM sendiri menyampaikan bahwa sepanjang kepemimpinan Jokowi, terdapat lebih dari 700 orang ditangkap, dianiayai dan disiksa di Papua.
Setahun lebih sudah kami menanti, pak Jokowi. Bukan kehadiran janjimu yang kami temui dalam penantian kami, tapi kenyataan duka lain yang kami dapatkan. Dan ketika engkau kembali menyambut fajar pertama tahun ini, apakah Paniai masih kau ingat? Jangan lupakan Paniai, Pak Jokowi!
Penulis adalah Direktur Eksekutif JKLPK (Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen), Jakarta.
Editor : Trisno S Sutanto
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...