Nemo's Garden, Kebun Bawah Laut Solusi Krisis Pangan Dunia
SATUHARAPAN.COM – Ada sejumlah rumah kaca yang dibangun sepanjang bulan Mei hingga September tahun lalu di Noli, Italia. Rumah kaca itu bukanlah rumah kaca biasa, melainkan rumah kaca yang dibangun di bawah laut, sejauh 20 kaki dari permukaan laut.
Rumah kaca berbentuk balon itu, memanfaatkan materi yang terkandung dalam lautan untuk menumbuhkan sejumlah tanaman seperti kemangi, daun selada, stroberi, kacang-kacangan, dan juga jamur. Tujuan membuat rumah kaca bawah laut itu adalah untuk menciptakan inovasi terkait solusi krisis pangan dunia di masa depan.
Tidak seperti di darat, di laut tidak ditemukan hama. Yang kerap ditemukan di area rumah kaca itu hanyalah kuda laut, kepiting, dan gurita. Rumah kaca bawah laut itu dinamakan Nemo’s Garden, yang dibangun oleh Ocean Reef Group.
Sergio Gamberini, presiden Ocean Reef Group, yang awalnya memiliki ide untuk melakukan eksperimen membangun rumah kaca bawah laut tersebut. “Saya ingin melakukan suatu hal yang sedikit berbeda, sekaligus yang bisa menunjukkan keindahan bawah laut untuk para penyelam,” katanya seperti dikutip Popsci, yang dilansir situs nationalgeographic.co.id.
Sergio Gamberini mengembangkan konsep unik yang dapat mengurangi emisi tanpa menggunakan pestisida. Untuk itu ia menggunakan balon transparan bervolume 2.000 liter yang ditambat sampai sepuluh meter dari dasar laut. Di dalam balon tersebut Gamberini membangun platform yang bisa digunakan untuk menanam sayur-sayuran.
Berbeda dengan perkebunan konvensional, Taman Nemo tidak membutuhkan air segar. Air didapat melalui proses alami desalinasi air laut. Melalui perbedaan temperatur, air laut menguap di dalam balon dan mengendap sebagai air tawar di atap balon. Air tersebut kemudian akan menetes dan membasahi tanaman layaknya air hujan.
Absennya sistem irigasi membuat konsep Taman Nemo cocok diterapkan di kawasan pesisir yang meranggas akibat dampak perubahan iklim. "Agrikultur tradisional menggunakan 70 persen air tawar di seluruh dunia, dan kelangkaan air meningkat pesat. Jadi pertanian adalah sektor yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim," kata Gamberini, sepertidikutip situs dw.com.
Sistem yang dikembangkan Gamberini ini tidak membutuhkan aliran listrik, sistem pengatur suhu ruangan atau pencahayaan buatan seperti yang biasa digunakan di rumah kaca atau perkebunan konvensional. Taman Nemo, bahkan juga bisa dibangun di dalam rumah dengan menggunakan akuarium. Oleh karena itu sangat hemat energi dan hemat biaya.
Meski hasil panen dari tumbuhan yang ditanam di Nemo’s Garden belum dijual, istri dari Gamberini telah mencoba menggunakannya untuk membuat pesto—saus pasta khas Italia yang dibuat dari basil (kemangi), minyak zaitun dan kacang cemara.
"Taman kami adalah sistem yang berkelanjutan dan mandiri," katanya. "Artinya setelah sistemnya diaktifkan, taman ini tidak membutuhkan bantuan dari luar. Kami memanen tomat, kacang-kacangan dan selada tanpa menggunakan air tanah sama sekali." Ia mengklaim tanamannya hanya membutuhkan sinar matahari.
Sayangnya konsep Taman Nemo belum bisa diterapkan secara komersial. Untuk itu Gamberini harus menyederhanakan desain agar penyelam tidak selalu harus datang untuk menanam, memanen atau merawat balon yang menambah beban biaya dan waktu. Saat ini ia masih bereksperimen dengan menggunakan ukuran, bentuk dan kedalaman balon yang berbeda-beda.
Terlebih konsepnya itu masih harus berhadapan dengan bencana alam. Tahun lalu salah satu Taman Nemo yang dibangunnya hancur oleh badai. Sejak itu Gamberini mendesain ulang fondasi yang digunakan buat menambat balon di dasar laut. Meski begitu konsepnya tersebut tetap dianggap lebih efektif ketimbang perkebunan konvensional.
Nemo’s Garden rasanya cocok dikembangkan di negara-negara berkembang, yang kekeringan dan kondisi alam lainnya menjadi kendala untuk kesuksesan pertanian tiap tahunnya.
Editor : Sotyati
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...