NIK Bukan Sekadar Soal Hak Pilih
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Husni Kamil Manik, mengaku pesimistis untuk menemukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sekitar 3,9 juta dari 10,4 juta pemilih bermasalah.
Sebelumnya 10,4 juta pemilih di daftar KPU dengan NIK yang tidak valid. Jika benar KPU bisa mengatasi yang 60 persen, maka sekitar hampai empat juta yang akan tidak masuk daftar pemilih. Alasannya mereka adalah warga yang tinggal di lembaga permasyarakatan (lima sampai tujuh persen), pemilih pemula yang belum memiliki KTP dan sedang belajar di luar kota (tiga sampai lima persen), dan pemilih yang tinggal di wilayah abu-abu (10 persen).
Apa artinya wilayah abu-abu, masih belum jelas. Selain itu ada yang ketika pendaftaran masih memiliki KTP dan Kartu Keluarga (KK) model lama (10 persen), serta pemilih yang sulit ditemui karena merantau atau melaut sebanyak (lima persen).
Jika masalah ini tidak dapat diselesaikan, maka mereka akan kehilangan hak memilih pada pemilihan parlemen dan presiden 2014. Namun masalah NIK yang belum jelas ini juga mempunyai dampak yang serius bagi jutaan warga negara.
Masalahnya, bagaimana hal itu bisa terjadi, sementara Kementerian Dalam Negeri telah bertahun-tahun memproses KPT Elektronik yang disebutnya sebagai data kependudukan dasar yang paling lengkap, yang seharusnya telah tuntas setahun lalu.
Bagi partai politik, hilangnya hak pilih warga bisa berarti hilangnya potensi pemilih, meskipun daris penghitungan suara dan perolehan kursi di parlemen bisa tidak signifikan. Bahkan, satu dua suara hilang bisa diabaikan.
Namun demikian, hal ini tdak bisa dibiarkan karena terkait dengan hak warga negara yang dilindungi oleh konstitusi. Mungkin hal ini sering diabaikan, karena banyak juga warga yang diam ketika hak pilihnya dikebiri. Bahkan ketika protes dan ditanggapi sekenanya, juga kemudian membiarkannya.
Namun masalah NIK yang terkait dengan KTP merupakan data dan identitas terpenting bagi setiap warga negara yang berhak. Banyak urusan yang hars dilakukan dengan identitas itu. Tanpa NIK dan KTP, warga negara itu bisa kehilangan banyak hak sosial politiknya.
Kalau masalahnya mereka sekolah di luar kota, apakah tidak ada mekanisme yang bisa membantu hal itu dilakukan, toh masih di dalam negeri. Bahkan yang di luar negeri semestinya kedutaan besar Indonesia atau perwakilan di berbagai negara bisa melakukan hal itu, sehingga setiap warga yang berhak memiliki NIK?
Masalah kependudukan ini tampaknya terlalu jauh dipolitisasi dan demi kepentingan politik yang naif. Bahkan soal data pun banyak yang didiskriminasi, seperti pencantuman keyakinan yang hanya dibatasi untuk enam agama. Bahkan pada kelompok keyakinan yang selama ini dimarjinalkan tidak mendapatkan KTP.
Masalah NIK ini sebaiknya tidak sekadar hanya masalah hak pilih dan administrasi pemilihan umum. Ini adalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius. KPU boleh saja menyatakan pesimistis untuk menyelesaikan hal ini, hanya sebatas pada masalah penyelenggaraan Pemilu 2014. Namun pemerintah, khususnya Kementerian Dalam Negeri tidak boleh diam.
Kementerian ini harus dengan serius menyelesaikan kasus ini, dan menanggalkan sikap-sikap yang diskriminatif, termasuk tegas menindak bawahan yang merampas hak-hak warga. Kalau tidak, negara telah bertindak sewenang-wenang.
Indonesia, yang dicita-citakan sebagai negara yang maju dan adil makmur, semestinya meninggalkan sikap keras kepala yang mengabaikan hak-hak dasar warga seperti ini. Sebab, cita-cita negara mustahil terwujud jika diskriminasi terus terjadi.
Masalah ini bukan sekadar angka, soal 3,9 juta dari 10,4 juta yang NIK-nyabermasalah, dan dari 186,6 juta pemilih. Ini soal hak yang dilindungi konstitusi.
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...