Mandela dan Obituari bagi Pemimpin
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sudah lazim ketika seorang pemimpin atau tokoh terkenal meninggal, bertebaran obituari di media massa, dan juga berbagai pidato dari para tokoh di berbagai kesempatan.
Di antara obituari dan pidato itu, bisa saja ada yang disampaikan dengan tulus dan dengan pemahaman yang mendalam atas perjalanan hidup mendiang, tetapi bisa saja ada yang basa-basi, bahkan mungkin saja ikut “menumpang” ketenaran.
Ketika berita mantan presiden kulit hitam pertama Afrika Selatan, Nelson Rolilahla Mandela, muncul, berbagai media di seluruh dunia dihiasi oleh berita dan gambar Mandela. Dan Hal ini mungin akan terus terjadi berhari-hari sampai pemakamannya pada 15 Desember nanti, atau bahkan sesudahnya.
Mandela dengan ketokohannya yang bukan hanya untuk Afrika Selatan, tetapi untuk dunia memang pantas mendapatkan obituari seperti itu. Berbagai pemimpin dunia merasa kehilangan, banyak media menyebutkan kematiannya sebagai duka bagi dunia.
Lintas Generasi
Malala Yousafzai, seorang gadis dari lembah Swat di Pakistan yang harus menjalani operasi karena ditembak oleh kelompok Taliban atas perjuangannya membela kaumnya mendapatkan pendidikan, juga menyampaikan penghormatan itu.
Sekelompok anak-anak remaja di Yayasan Puspita di kampung Pasir Angin, di Gadog, Bogor, menghormati Mandela dengan menanam pohon di kebun mereka untuk mengenang tokoh ini.
Keduanya adalah dari generasi yang belum lahir ketika Mandela berjuang dalam kepahitan oleh diskriminasi ras, hingga Afrika Selatan menjadi “rainbow nation” dan bercahaya bagi dunia.
Dan tak terhitung pemimpin negara dan dunia yang menyampaikan kesannya pada mendiang dengan sebutan yang belum pernah diberikan pada tokoh manapun: “Raksasa Keadilan” (Sekjen PBB, Ban Ki-moon), “Tokoh Milik Abad ini” (Barack Obama), sekadar contoh. Namun juga yang mengenang warisan abadinya, termasuk ada yang “kesiangan” menyatakan akan belajar pada Mandela, meski hasil perjuangannya sudah muncul seperempat abad lalu.
Kekuatan Mengampuni
Mandela memang pantas mendapatkan hal itu. Dia adalah komandan Umkhoto we Swise, sayap bersenjata Kongres Nasional Afrika (ANC) yang gigih menyerang aparat keamanan pemerintah Apartheid. Tetapi ketika dia bebas, dan memiliki kekuatan yang besar dengan dukungan internasional atas pembebasannya, justru meminta rakyat membuang tombak dan pedang ke laut, dan memilih negosiasi untuk menyelesaikan krisis politik di negerinya.
Dia ditangkap dan dituntut dengan hukuman mati, namun hakim memutuskan hukuman penjara dan kerja paksa seumur hidup. Ketika dibebaskan setelah 27 tahun dipenjara, justru dia membuang dendam, dan mengundang kepala sipir penjara Ruben Island yang pernah menistanya sebagai tamu kehormatan pada pelantikannya sebagai presiden.
Mandela juga dengan konsisten mengajak rakyat kulit hitam mendukung Springbok, tim rugby Afsel pada Piala Dunia yang diselengggarakan di negerinya. Padahal kulit hitam begitu bencinya pada segala hal yang terkait dengan “Boke” sebutan tim itu, karena mewakili apartheid. Dan dia akhirnya tampil bersama sang kaptek “Boke” Francoise Pineaar mengangkat piala juara. Itu jadi momen membersihkan warisan kebencian di tengah rakyat Afsel.
Dia juga yang dengan tenang dan bersahabat makan siang bersama janda dari imam yang menjadi arsitek politik apartheid, dan makan malam bersama jaksa yang menuntutnya hukuman mati untuk tindakan yang disebut teroris, sementara bagi Mandela adalah perjuangan kebebasan.
Mandela bukan saja tokoh yang membawa Afrika Selatan memasuki era yang lebih sejahtera dalam hal-hal yang mendasar bagi kehidupan manusia. Dia adalah figur yang kuat dalam pengampunan, membuang akar pahit menjadi kekuatan untuk persatuan, tokoh yang dengan hidupnya menunjukkan jalan damai itu riil, sangat mungkin dan mulia. Dia tokoh rekonsiliasi yang memulai berdamai dengan dirinya atas masa lalu yang pahit tak kepalang.
Melampaui Harapan Dirinya
Setelah berakhir masa jabatannya sebagai presiden, dan Mandela yang biasa disebut dengan hormat oleh rakyat Afrika sebagai Madiba atau Tata Madiba, memilih tidak terus memegang kekuasaan. Dan dia oleh Bhishop Desmond Tutu disebut “memboroskan waktu” menggunakan hingga sisa waktu dan tenaganya untuk pekerjaan amal bagi orang yang paling lemah.
Semua itu adalah hal-hal yang tidak semua orang bisa mencapai, Mandela pernah mengatakan bahwa kekuatannya adalah menempatkan kepemimpinannya melampaui harapan dirinya. Dan ketegarannya meghadapi kepahitan hidup karena keyakinan jiwanya terpatahkan, karena dia adalah kapten bagi jiwanya. Hal itu terinspirasi oleh puisi berjudul “Invictus”.
Hal-hal itu yang membuat obituari tentang dia juga tidak mudah dicapai oleh orang lain. Obituari adalah sebuah pengakuan. Meskipun banyak obituari yang basa-basi, namun untuk pria yang menjadi presiden dalam usia lanjut (72 tahun) dan gemar sekali dengan pakaian batik, tampaknya tidak demikian.
Sedemikian kuat obituari sebagai cerminan kualitas hidup seseorang, terutama pemimpin, sehingga para motivator menyarakan orang untuk membuat obituarinya sendiri yang menandai dengan cara bagaimana hidupnya akan dijalani dan dikenal orang lain.
Obituari Apa untuk Pemimpin Indonesia?
Obituari tentang Mandela mengajak kita di Indonesia, khususnya para pemimpin, untuk membayangkan obituari yang akan mengiringi setelah kematian. Apakah akan ditulis sebagai koruptor, pemimpin yang suka berbohong, pemimpin yang kekuasannya untuk kepentingan sendiri atau keluarga, pemimpin yang rajin mengeluh, pemimpin yang kebijakannya tidak bijak, yang keputusannya justru menyengsarakan rakyat, pemimpin yang memanfaatkan konflik untuk popularitas, atau pemimpin yang membiarkan hak asasi rakyat dirampas?
Para pemimpin di Indonesia, hampir pasti tidak akan mendapatkan obituari “buruk” seperti itu. Yang muncul selalu hal baik, dan mungkin berlimpah basa-basi yang naif. Tapi pemimpin sejati akan mendapatkan obituari yang tulus, bahkan “menggetarkan jiwa” yang masanya melampaui kekuatan fisiknya.
Obituari Mandela memang membuat iri, meskipun dia mungkin tidak pernah merancang seperti apa obituari akan ditulis di hari kematiannya. Dia bahkan pernah mengatakan: “Saya hanya melakukan apa semestinya dilakukan pemimpin.”
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...