Nurcholish: Agama Diajarkan dengan Cara-cara Intoleran
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ahmad Nurcholish, pengurus Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) menilai agama diajarkan dengan cara-cara yang intoleran atau tidak tenggang rasa kepada para pengikutnya.
“Hanya persoalannya selama ini kan tampaknya agama-agama itu lebih banyak diajarkan dengan cara-cara yang intoleran. Kita ingin menjadi inspirasi bagi yang melakukan intoleransi, kekerasan, konflik dan sebagainya,” kata Nurcholish kepada satuharapan.com.
Hal itu disampaikan Nurcholish sebelum peluncuran dan bedah buku “Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-agama” di Auditorium Toko Buku Gramedia, Jl Matraman Raya, Jakarta Timur, Kamis (11/6).
“Kita ingin semangat agama yang penuh cinta kasih itu kembali dijalankan, dipraktekkan oleh umat beragama,” kata dia.
Menurut Nurcholish, di dalam kitab suci agama-agama itu ada teks-teks yang berbicara soal kekerasan, pembunuhan. “Di Islam ada konsep jihad. Pertanyaannya adalah apakah dalam konteks sekarang bagaimana cara kita membaca soal Jihad itu? Jihad itu kan sebetulnya tidak melulu berbicara soal perang, perlawanan dengan kekerasan. Itu jihad yang paling rendah sebetulnya,” kata dia.
Jihad yang paling tinggi itu, lanjut Nurcholish adalah ketika kita harus belajar untuk memperdalam intelektualitas kita, mengasah spiritualitas kita, itu justru jihad tertinggi. “Memberi perhatian kepada banyak orang itu juga merupakan jihad,” kata dia menambahkan.
“Hanya yang selama ini dipraktekkan oleh teman-teman dari kalangan garis keras itu, jihad seolah-olah perang, sehingga ketika ketemu orang yang berbeda maka mereka melakukan tindakan kekerasan,” kata dia.
“Mereka merasa berhak. Mereka yang dianggap kafir misalnya, yang murtad itu berhak untuk dibunuh. Nah sebenarnya kan agama tidak mengajarkan seperti itu,” kata dia.
Nurcholish menilai, teks-teks yang berbicara soal kekerasan dan pembunuhan dalam Kitab Suci agama harus dilihat dalam konteks masa sekarang.
“Bahwa ada teks-teks seperti itu, harus kita baca ulang bagaimana cara kita menafsirkan dalam konteks kekinian. Dan setiap ayat itu ada sebab-sebab turunnya semua ayat. Itu kan tidak serta merta turun begitu saja,” kata dia.
“Jadi ada peristiwa yang melatarbelakangi sehingga ketika kita membaca dalam konteks kekinian ya harus melihat relevansinya dan signifikasinya ayat-ayat itu dalam konteks sekarang,” kata pengurus ICRP itu.
Kalau teks itu tidak ada yang salah, kata Nurcholish, orang yang membaca yang harus membunyikan teks itu. “Oleh karena itu teks sangat tergantung pada kita sebagai pembacanya,“ katanya.
“Oleh karena itu, karena ada keragaman tafsir itu kan muara dari banyaknya orang yang membaca teks-teks Kitab Suci. Sehingga bagi kelompok seperti kami itu lebih banyak membaca teks-teks keagamaan sebagai misi utama agama untuk membuat orang jadi lebih baik, untuk memberikan acuan bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain, bahkan dengan orang lain yang berbeda, dan seterusnya,” kata dia.
“Dari hasil bacaan kami dan beberapa literature dari berbagai agama-agama itu, yang kami temukan adalah agama mengajarkan cinta kasih. Jadi banyak titik temu yang mempertemukan bahwa semua agama itu mengajarkan cinta kasih, toleransi, bagaimana kita menghargai dan menghormati orang lain yang berbeda,” kata dia.
Itu semua menurut Nurcholish sebetulnya khazanah klasik yang sudah ada sejak agama itu hadir. “Lalu kenapa sekarang itu diabaikan? Jadi sebetulnya kita ingin mempublikasikan kembali, mensosialisasikan kembali ajaran-ajaran yang sudah ada sejak dulu, namun tampaknya saat ini dilupakan,” kata dia.
“Sehingga kemudian ajaran-ajaran seperti itu bisa menginspirasi dan menjadi mindset utama. Bisa menjadi buah pikiran utama bagi umat beragama itu cenderung melakukan hal-hal yang melahirkan kebaikan,” kata Nurcholish.
Sementara itu, buku “Agama Cinta” yang ditulis Nurcholish bersama rekannya Alamsyah M. Dja’far berisikan bentuk spiritualitas yang ada di hampir semua agama. “Jadi kita bicara soal aspek-aspek ajaran cinta kasih, toleransi, perdamaian, yang juga diajarkan oleh hampir seluruh agama,” kata Nurcholish.
“Pesan utamanya adalah bahwa semua agama mengajarkan cinta kasih. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi kita untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan misi cinta kasih itu terhadap orang lain.”
“Entah yang seagama maupun yang berbeda agama, sehingga dengan begitu kita siap menerima keberagaman, perbedaan. Kalau kita menerima itu maka kita juga siap untuk hidup bersama dengan mereka yang berbeda-beda itu,” kata dia.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Satu Kritis, Sembilan Meninggal, 1.403 Mengungsi Akibat Erup...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sebanyak 1.403 korban erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki di Flores Timur, N...