OC Kaligis Tuduh KPK Langgar HAM
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pengacara senior OC Kaligis menuduh KPK melanggar Hak Asasi Manusia dalam proses pemeriksaannya dalam kasus perkara dugaan tindak pidana korupsi suap majelis hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan.
"Hari ini, jam 9.00 pagi di penjara KPK Guntur saya kembali mau dijemput paksa! Saya menolak, karena sejak malam takbiran sampai dengan hari ini tensi saya sekitar 190-195/90-100. Dokter KPK sudah menganjurkan ke dokter spesialis, tetapi tidak dikabulkan. Ini contoh-contoh penganiayaan terhadap diri saya melanggar HAM," kata OC Kaligis dalam surat yang ditulis tangan dan disampaikan oleh pengacaranya Johnson Panjaitan di gedung KPK Jakarta, hari Jumat (31/7).
Kaligis sebelumnya sudah dua kali menolak untuk diperiksa sebagai saksi untuk tersangka M Yagari Bhastara alias Gerry yang juga anak buahnya pada hari Jumat (24/7) dan Selasa (28/7) karena mengaku sakit dan juga karena tidak mau diperiksa sebagai saksi sebab sudah menjadi tersangka, hari ini pun ia menolak diperiksa.
"Pemeriksaan dalam tekanan pun dilarang KUHAP sekarang KPK yang `super power` menabrak semua itu dan konvensi HAM international," ungkap Kaligis.
Ia pun berharap agar seruannya didengar oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
"Semoga seruan saya ini sampai ke Presiden, Wakil Presiden, Ketua DPR-MPR dan semua penegak hukum yang cinta keadilan saya siap ke pengadilan," tambah Kaligis.
Ia kembali menegaskan bahwa ia tidak akan mau diperiksa lagi oleh KPK, karena menilai bahwa KPK sudah memiliki dua alat bukti dan Kaligis pun sudah pernah dibuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai tersangka, walaupun ia menolaknya.
Kaligis pun merasa penjemputannya di hotel Borobudur pada 14 Juli 2015 adalah bentuk penculikan.
"Saya, Otto Cornelis Kaligis diculik tanggal 14/7/2015. Baru pada hari yang sama saya ketahui ada surat penangkapan dan penahanan. Saya menolak BAP tersangka tanggal 14/7/2015. Silakan bawa semua berkas perkara ke pengadilan untuk saya buktikan dalam pembelaan saya," tambah Kaligis dalam suratnya.
Kaligis berasalan bahwa sebagai tersangka ada pasal 66 KUHAP yang menyatakan tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian sedangkan yang termasuk pembuktian adalah pemeriksaan saksi vide Pasal 75 (1) i jo pasal 184 (1).
"Dalam kedudukan saya sebagai tersangka dengan ini saya tegaskan BAHWA SAYA tidak mau diperiksa lagi saksi sama dengan alat bukti. Saya tidak dibebani lagi beban pembuktian," tegas OC Kaligis.
Menurut Kaligis, pada 15 Juli 2015 tanpa panggilan, saya diperiksa, dengan jemput "paksa" di rutan Guntur.
"Saya di-BAP saksi. Padahal hari itu saya minta diperiksa didampingi pengacara saya, karena memang sebagai saksi. Prakteknya pemeriksaan dengan paksaan, intimidasi sering terjadi, tanpa ada yang menyaksikan," jelas Kaligis.
Kaligis pun memprotes pemeriksaan terhadap para pengacara yang ada di kantor hukumnya dalam waktu yang lama.
"Semua saksi-saksi dari kantor saya diperiksa setelah tanggal 14 Juli 2015 rata-rata kurang lebih 12 jam sehingga kantor saya pun berhasil dilumpuhkan KPK. Semua takut akan sadapan KPK,"ungkap Kaligis.
KPK sebelumnya sudah menetapkan delapan orang tersangka dalam kasus ini yaitu sebagai penerima suap terdiri atas Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro (TIP), anggota majelis hakim Amir Fauzi (AF) dan Dermawan Ginting (DG) serta panitera/Sekretaris PTUN Medan Syamsir Yusfan (SY), sedangkan tersangka pemberi suap adalah pengacara senior OC Kaligis, anak buahnya bernama M Yagari Bhastara Guntur (MYB) alias Gerry, Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan istrinya Evi Susanti.
Perkara ini dimulai ketika Kepala Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Sumut Ahmad Fuad Lubis dipanggil oleh Kejaksaan Tinggi dan juga Kejaksaan Agung terkait perkara korupsi dana bantuan sosial provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2014.
Atas pemanggilan berdasarkan surat perintah penyelidikan (sprindik) yang dikeluarkan oleh dua lembaga penegak hukum tersebut, Fuad pun menyewa jasa kantor pengacara OC Kaligis untuk mengajukan gugatan ke PTUN Medan.
Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, PTUN yang berhak menilai apakah aparat sipil negara melakukan penyalahgunaan wewenang.
Dalam putusannya pada 7 Juli 2015, majelis hakim yang terdiri dari ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro dan anggota Amir Fauzi serta Dermawan Ginting memutuskan untuk mengabulkan gugatan Fuad.
Namun pada 9 Juli 2015, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di PTUN Medan terhadap Tripeni dan anak buah OC Kaligis bernama Moch Yagari Bhastara Guntur alias Gerry dan mendapati uang 5 ribu dolar AS di kantor Tripeni. Belakangan KPK juga menangkap dua hakim anggota bersama panitera/sekretaris PTUN Medan Syamsir Yusfan.
Selanjutnya diketahui juga bahwa uang tersebut bukan pemberian pertama, karena Gerry sudah memberikan uang 10 ribu dolar AS dan 5 ribu dolar Singapura.
Uang tersebut menurut pernyataan pengacara yang juga paman Gerry, Haeruddin Massaro berasal dari Kaligis yang diberikan ke Dermawan Ginting pada 5 Juli 2015. (Ant)
Cara Telepon ChatGPT
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perusahaan teknologi OpenAI mengumumkan cara untuk menelepon ChatGPT hing...