Orang Benar akan Hidup dengan Iman Percayanya
“Berapa lama lagi, Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: "Penindasan!" tetapi tidak Kautolong? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi. Itulah sebabnya hukum kehilangan kekuatannya dan tidak pernah muncul keadilan, sebab orang fasik mengepung orang benar; itulah sebabnya keadilan muncul terbalik.” (Habakuk 1:2-4)
“Aku mau berdiri di tempat pengintaianku dan berdiri tegak di menara, aku mau meninjau dan menantikan apa yang akan difirmankan-Nya kepadaku, dan apa yang akan dijawab-Nya atas pengaduanku. Lalu Tuhan menjawab aku, demikian: "Tuliskanlah penglihatan itu dan ukirkanlah itu pada loh-loh, supaya orang sambil lalu dapat membacanya. Sebab penglihatan itu masih menanti saatnya, tetapi ia bersegera menuju kesudahannya dengan tidak menipu; apabila berlambat-lambat, nantikanlah itu, sebab itu sungguh-sungguh akan datang dan tidak akan bertangguh. Sesungguhnya, orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, tetapi orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya.” (Habakuk 2:1-4)
Sampai di situ pembacaan Alkitab kita. Yang berbahagia ialah orang yang mendengar dan melakukan Firman Tuhan di dalam hidupnya, Haleluya.
Apakah ada di antara saudara yang sekalipun di dalam kehidupan saudara tidak pernah merasa kuatir? Pasti tidak ada ya, apalagi dalam saat-saat seperti sekarang, saat pandemi COVID-19 ini, ada banyak kekuatiran di dalam kehidupan kita.
Saudara, rasa kuatir sebenarnya adalah sesuatu yang wajar dan manusiawi. Bahkan dalam kadar tertentu rasa kuatir itu diperlukan. Rasa kuatir yang sewajarnya membuat kita mawas diri, berjaga-jaga dan berusaha untuk menjalani kehidupan kita dengan baik. Kalau kita kuatir gagal ujian misalnya, maka kita akan giat mempersiapkan diri untuk ujian itu dengan belajar. Kalau kita kuatir akan pandemi Covid-19, maka kita pakai masker, rajin cuci tangan, menjaga jarak, dan seterusnya.
Jadi, dalam kadar tertentu, rasa kuatir itu bahkan diperlukan. Rasa kuatir dalam diri, bisa menimbulkan rasa mawas diri. Tetap berhati-hati dan berjaga-jaga sehingga kita bisa menjalani kehidupan kita dengan baik.
Tetapi saudara sekalian, kekuatiran bisa menjadi buruk dan merusak kehidupan manakala itu terjadi secara berlebihan, bukan cuma kuatir tetapi juga dikuasai kekuatiran, bukan cuma kuatir tetapi sudah menjadi ketakutan.
Takut gagal jadinya tidak pernah mencoba, takut kekurangan jadinya pelit, takut celaka jadinya tidak mau pergi ke mana-mana, takut masa depan lalu orang jadi bunuh diri. Bahkan, sering karena kekuatiran, orang melakukan tindakan-tindakan yang irasional, tindakan-tindakan yang tidak masuk akal, menimbun harta sebanyak-banyaknya hanya karena kuatir akan masa depan, menindas yang lain yang berbeda dengan dia, karena kuatir suatu saat tidak lagi jadi mayoritas, tidak jadi penguasa lagi lalu lawan-lawannya ditindak.
Atau mendiskriminasi orang-orang tertentu karena ketakutan-ketakutan yang tidak beralasan. Peristiwa penolakan mayat korban Covid-19 untuk dikubur di daerah tertentu, itu adalah gambaran ketakutan yang irasional, ketakutan yang menguasai mereka, sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan yang sesunguhnya tidak perlu.
Saudara-saudara, perikop pembacaan kita kali ini berbicara tentang perkataan Nabi Habakuk. Situasi yang dihadapi oleh umat pilihan pada masa Nabi Habakuk ini adalah situasi yang ditandai dengan ketidakadilan, kejahatan, kelaliman, penganiayaan, kekerasan, perbantahan dan pertikaian seperti diuraikan ayat ke-2 sampai ke-3 pasal 1 Kitab Nabi Habakuk ini. Situasi yang bagi siapapun menjalaninya akan mengalami kekuatiran dan ketakutan. Karena penindasan yang dialami Israel, Habakuk mempertanyakan di manakah Tuhan.
Pada ayat yang ke-2, Habakuk mempertanyakan Tuhan yang tidak cukup tanggap untuk menghentikan kekejaman yang terjadi, untuk melawan ketidakadilan Yehuda ini. Habakuk yang mempertanyakan tentang Tuhan yang membiarkan pasukan Babel menindas umat yang dikasihiNya.
Saudara-saudara, sesungguhnya kisah Nabi Habakuk memberikan pelajaran yang sangat baik tentang hidup beriman kepada Tuhan. Penuturan Habakuk kepada Tuhan adalah contoh yang baik bagaimana orang beriman itu berdoa, di mana doa itu diungkapkan oleh orang yang beriman. Doa orang yang beriman tidak hanya berisi pengaduan, tetapi pujian, bukan mempertanyakan melainkan juga percaya.
Habakuk senantiasa mengungkkapkan imannya kepada Tuhan, kendati ia dan umat sedang mengalami masa-masa yang sangat sulit. Justru iman manusia akan diuji melalui saat-saat sulit itu, karena Tuhan menyambut setiap orang yang hidup oleh iman.
Pertanyaan-pertanyaan iman selalu dibarengi dengan penantian-penantian iman. Inilah yang nampak dalam perikop bagian yang kedua, pasal yang ke-2, ayat 1-4. Nabi Habakuk mau tetap setia menanti-nantikan jawaban Tuhan atas pengaduannya. Habakuk meyakini karya tindak lanjut Tuhan akan berlangsung pada waktu yang tepat, pertolongan Tuhan atas Yehuda akan segera nyata, dan tidak berlambat-lambat dan tidak akan bertangguh. Pentingnya menunggu dengan sabar pada ayat ini karena keselamatan itu pasti akan terjadi.
Saudara-saudara iman tidak berarti percaya tanpa kekuatiran, tetapi iman itu lahir dari pergumulan-pergumulan ketika kita mengalami banyak kekuatiran. Iman yang sesungguhnya berasal dari proses kehidupan yang nyata, dari kekuatiran, dari ketakutan yang nyata, tapi lalu lahir sebuah keyakinan, sebuah kepercayaan bahwa Tuhan tetap menyertai kehidupan kita.
Saudara-saudara yang dikasihi oleh Tuhan. Situasi pandemi Covid-19 yang tengah dialami ini, belum diketahui kapan akan berakhirnya. Situasi seperti ini bisa memunculkan berbagai kekuatiran dalam kehidupan. Kita jadi lebih kuatir tentang kesehatan, lebih kuatir bagaimana kehidupan ekonomi dalam situasi seperti ini. Kita juga menjadi kuatir bagaimana nasib pendidikan bagi anak-anak kita kalau harus terus-menerus sekolah online seperti sekarang ini.
Kita juga menjadi kuatir bagaimana kehidupan keagamaan kita. Sebab bagaimanapun keindahan bersekutu, bersama, ketika kita hadir di gedung gereja secara bersama-sama, memuji Tuhan dan beribadah kepada Tuhan, itu tidak bisa digantikan dengan persekutuan-persekutuan virtual seperti yang harus kita lakukan selama masa pandemi ini. Dan itu mengkuatirkan kita, sampai kapan kita harus beribadah seperti ini. Ada banyak hal dalam kehidupan kita sekarang yang bisa membuat kita sulit untuk tersenyum.
Akan tetapi saudara sekalian, rasa kuatir yang berlebihan tidak akan ada gunanya selain membuat kehidupan kita menjadi suram. Kekuatiran membuat hidup kita jadi kehilangan rasa sukacita. Jangan biarkan kekuatiran itu merampas sukacita kita. Biarlah kekuatiran-kekuatiran yang kita alami memunculkan keyakinan kepercayaan bahwa Tuhan ada di tengah kehidupan kita, Tuhan menyertai kita, Tuhan menolong kita.
Karena itu, yakinlah, Tuhan akan senantiasa menyertai dan menolong kita, sehingga kita tidak perlu kuatir secara berlebihan, mawas diri, berjaga-jaga. Mempersiapkan segala kemungkinan itu perlu, tapi jangan sampai orang percaya kehilangan sukacita kehidupannya karena keyakinannya kepada Tuhan yang Maha Baik. Tuhan menyertai kita, Amin.
Pdt Ferly David, MSi
(Sekretaris Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Pasundan(GKP)/Kemenag.go.id)
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...