Osaka akan Terapkan Aturan Wajib Akhiri Jam Kerja
TOKYO, SATUHARAPAN.COM – Prefektur Osaka, Jepang, belum lama ini memutuskan menerapkan sebuah sistem untuk “wajib mengakhiri jam kerja” bagi pegawai negeri sipil (PNS) dengan mematikan komputer mereka secara otomatis, sebuah langkah yang memicu perdebatan sengit di dunia maya.
Beberapa warganet mengatakan mereka berharap atasan mereka dapat mempertimbangkan hal ini, sementara yang lain berujar pekerjaan tidak akan “berhenti” sekalipun komputer dimatikan.
Prefektur Osaka akan mulai memberlakukan sistem untuk mematikan komputer secara paksa pada komputer milik sekitar 7.600 staf nonmanajemen di sektor publik, termasuk kepolisian Osaka dan sekolah negeri, pada musim dingin 2020 sebagai upaya untuk memangkas jam lembur, kata Gubernur Prefektur Osaka Hirohumi Yoshimura pada Jumat (29/11/2019), seperti dilansir Kanor Berita Xinhua.
Setelah memberlakukan sistem tersebut, sebuah pemberitahuan akan muncul di komputer pada pukul 18.00, yang berbunyi “Mohon selesaikan pekerjaan secepatnya dan matikan komputer.” Selanjutnya, mesin komputer akan mati secara otomatis setelah 30 menit. Jika pegawai terpaksa lembur, dia harus menyerahkan formulir pengajuan lembur pada sekitar pukul 16.30.
Hanya dalam kondisi-kondisi khusus, seperti bencana alam dan situasi darurat lain, pemerintah akan mencabut fungsi wajib mematikan komputer tersebut. “Kami berharap Anda dapat bekerja dengan efisien dan mengerahkan seluruh kemampuan Anda,” ujar Yoshimura kepada para PNS.
Menurut laporan media setempat, para pegawai di Prefektur Osaka bekerja lembur sekitar 1 juta jam per tahun, dengan total upah lembur sekitar 3 miliar yen (1 yen = Rp129). Sementara, sistem untuk “wajib mengakhiri jam kerja” tampaknya akan lebih menghemat biaya operasional, dengan hanya butuh 50 juta yen untuk menerapkan sistem baru tersebut.
Keputusan Pemerintah Osaka untuk memperkenalkan sistem wajib mengakhiri jam kerja tersebut bertujuan untuk memangkas pengeluaran pemerintah dan mempromosikan penerapan reformasi undang-undang terkait pola kerja.
Pada 1 April 2019, Jepang mulai menerapkan secara bertahap reformasi undang-undang (UU) ketenagakerjaan terkait pola kerja, dengan masalah lembur menjadi perhatian khusus. Berdasarkan UU tersebut, jam kerja lembur pegawai “pada prinsipnya adalah 45 jam per bulan dan 360 jam per tahun”. Saat periode sibuk, lembur tidak boleh melebihi 100 jam per bulan atau 720 jam per tahun, dan perusahaan yang melanggar aturan tersebut akan dikenakan sanksi.
Hingga saat ini, Osaka telah melakukan sejumlah perubahan untuk memangkas jam lembur, seperti memperkenalkan sistem kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk membuat notulen rapat secara otomatis. Namun, sejak Agustus, akibat topan dan bencana alam lainnya, jumlah pegawai yang mengambil lembur mulai meningkat, sehingga mendorong Prefektur Osaka meluncurkan sistem “wajib mengakhiri jam kerja” dengan harapan reformasi tersebut dapat berjalan.
Kendati demikian, reformasi itu belum mendapatkan respons positif dari kalangan pekerja.
Survei: Tekanan Kerja Meningkat
Sebuah klinik spesialis yang dikelola asosiasi medis Jepang untuk membantu para warga lanjut usia (lansia) melakukan survei terhadap 500 pria berusia 20 hingga 50 tahun mengenai jam kerja di Tokyo dan Osaka.
Hasil survei menunjukkan setelah penerapan reformasi UU tersebut, 53,8 persen responden merasa pekerjaan mereka menjadi tidak semudah sebelumnya, dan 50 persen merasa tekanan kerja meningkat, khususnya di kalangan pria berusia 30 hingga 40 tahun.
Kini dengan sistem wajib mengakhiri jam kerja di Osaka, banyak warganet Jepang tampaknya tidak setuju dengan “kebaikan” pemerintah tersebut, dan menyampaikan kekecewaan mereka di kolom komentar Kyodo News.
“Kebijakan ini hanya menambah waktu untuk menyerahkan formulir, dan pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan sesuai tenggat harus dibawa pulang,” kata seorang warganet dengan nama pengguna “cat”.
“Alih-alih memaksa pegawai mematikan komputer mereka, akan lebih baik jika proses kerja yang panjang diubah, seperti membuat dokumen digital yang mewajibkan ketua tim, kepala bagian, wakil direktur, dan direktur membubuhkan stempel dan tanda tangan satu per satu, atau mengurangi beberapa rapat rutin yang membosankan,” tutur pengguna yang memakai nama “Xen”.
“Sebelum gubernur menerapkan aturan tersebut, lakukan survei terkait beban kerja dan kualitas kerja, lalu tanda tangani kesepakatan pemangkasan jam lembur. Jika tidak, aturan untuk mematikan komputer ini tidak ada artinya,” ungkap seorang warganet bernama “Hir”. (Ant)
KPK Tetapkan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, Tersangka Kasus...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal PDI Perju...