Pakaian Bekas: dari Malaysia ke Banyak Negara
SATUHARAPAN.COM – Pemerintah, dalam hal ini, Kementerian Perdagangan menyatakan bahwa pakaian impor bekas yang beredar di pasaran, merupakan produk ilegal yang seharusnya dilarang masuk ke Indonesia. "Ini adalah produk impor ilegal. Sedang kami koordinasikan dengan Bea Cukai agar tidak masuk ke pasar," kata Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, beberapa waktu lalu
Disebutkan juga bahwa pakaian bekas berdampak negatif terhadap kesehatan. Uji laboratorium menunjukkan mengandung bakteri dan virus yang membahayakan konsumen, menurut pernyataan kementerian itu.
Namun dari mana sebenarnya pakaian bekas itu? Malaysia adalah pusat perdagangan pakaian bekas yang datang dari berbagai negara dan dijual ke banyak negara.
Perusahaan yang mengoperasikannya adalah Brackwell Malaysia di Port Klang, Selangor. Barang-barang itu pertama masuk fasilitas daur ulang Brackwell di kawasan industri Bandar Sultan Suleiman, seperti dilaporkan situs berita Malaysia, The Star.
25 Ton Per Hari
Perusahaan itu memiliki fasilitas seluas lebih dari 5.400 meter persegi. Setiap hari, sekitar 25 ton limbah yang dapat digunakan kembali itu tiba di pabrik Brackwell, kata direkturnya, Chris Hughes.
Hughes, yang sebelumnya bekerja pada badan amal Bala Keselamatan (Salvation Army) di Australia, di mana dia bertanggung jawab untuk menjual pakaian dari penyumbang, menjelaskan proses daur ulang itu.
Dimulai dengan memisahkan barang yang bisa dipakai lagi dan yang tidak, karena barang dalam budel itu berisi berbagai hal dari alas kaki, tas, pakaian, dan barang lain. Kemudian pemisahan berdasarkan jenis dan kualitas. Untuk itu ada 120 kategori untuk seluruh produk.
Pabrik yang dikelola Brackwell, yang telah beroperasi di Australia selama lebih dari 20 tahun, dan di Malaysia dimulai pada tahun 2007 mempekerjakan 120 orang. Pabrik ini memanfaatkan infrastruktur yang baik dan biaya tenaga kerja terjangkau.
"Biaya terlalu tinggi untuk menjalankan bisnis seperti ini di Barat, karena padat karya, sehingga banyak perusahaan yang pindah ke negara-negara timur," kata Hughes.
Barang yang masih bisa digunakan dijual di tiga toko yang dikenal sebagai ‘’Bagus Bundle.’’Di Malaysia dan Indonesia, kata "bundel" digunakan untuk menyebut toko pakaian bekas, karena barang datang dalam kemasan bundel.
"Sekitar 60 persen barang yang tiba di pabrik dapat dipakai kembali, dan sekitar 40 persen yang didaur ulang. Ini tidak mungkin untuk mendaur ulang segalanya, jadi kami memiliki beberapa limbah, tapi kami mencoba untuk menjaga di bawah 2 persen," kata Hughes.
Pasar Afrika
Barang-barang itu kemudian diekspor lagi, dan sebagian besar menuju Afrika, namun juga ke belahan dunia lain di mana pakaian baru tak terjangkau oleh daya beli penduduk. Dari Malaysia pakaian bekas itu masuk ke India, Pakistan dan Kepulauan Pasifik, termasuk ke Indonesia secara ilegal.
"Ada permintaan besar di Afrika yang merupakan pasar terbesar di dunia untuk pakaian bekas," kata Hughes. Secara lokal, juga ada kekurangan untuk memenuhi permintaan pakaian. Pabrik itu juga melihat aliran pembeli yang konstan.
Permintaan pakaian bekas terus ada di kalangan kelas miskin. "Persentase penduduk di Pakistan, terutama di daerah pedesaan, bahkan tidak keberatan untuk barang berkualitas rendah," kata Hughes.
Di Indonesia produk ini dilarang, tetapi barang terus masuk. Direktur Penyidikan dan Penindakan Bea Cukai, M Sigit, menyebutkan pada lebaran tahun lalu, jumlah volume penangkapan baju bekas impor meningkat 500 persen.
Data tahun 2013 jumlah kasus tangkapan baju bekas impor mencapai 95 tangkapan dengan nilai Rp 622 juta. Sedangkan pada periode Januari hingga Mei 2014 saja, jumlah kasus tangkapan sudah mencapai 82, dengan nilai Rp 3,1 miliar.
Sepatu Tunggal Pun Laku
Pabrik ini juga bisa menjual barang campuran. "Kami bahkan mengirim sepatu tunggal. Seseorang yang bekerja di sebuah peternakan tidak akan peduli jika sepatunya tidak sama. Kami mengirim sekitar 100 ton barang campuran pada satu bulan dan 15 persen sampai 20 persen adalah sepatu tunggal dan tas kelas tiga," kata dia
Huges mengatakan, ekspor barang-barang tersebut tidak hanya mengalihkan mereka dari tempat pembuangan sampah, tetapi juga memberikan orang miskin sebuah pilihan.
Bulan lalu, Brackwell menangani 600 ton pakaian tua, aksesoris dan produk tekstil, dan 104 ton dikumpulkan di Malaysia, sisanya dari Australia. Sumber lokal utama adalah 200 keranjang pengumpul yang disiapkan oleh pendaur ulang lain, Life Line Clothing.
Perusahaan itu bahkan berencana meningkatkan volume terutama untuk wilayah Klang Valley, beberapa di Bentong (Pahang) dan Teluk Intan (Perak). Dengan kerja sama tersebut, Brackwell membayar untuk disumbangkan pada badan amal untuk setiap kilogram yang dikumpulkan, yaitu Asosiasi Malaysia untuk Orang Buta, Asosiasi Spastic Anak Selangor dan Wilayah Federal, dan Dewan Kanker Nasional (National Cancer Council).
Hughes senang karena industri daur ulang tekstil itu mengurangi sampah hingga dua persen, dan tahun sebelumnya mencapai 5 – 6 persen. ‘’Saya senang berada di industri ini karena merupakan industri daur ulang asli dan membantu banyak orang."
Dia tersenyum dan menunjuk kemeja biru Polo dan Levi 501. Lalu, apa yang paling berharga yang pernah ditemukan? "Ini kembali di Australia. Gaun era Victoria, hampir 200 tahun, dalam kondisi baik. Kami buka lelang, dan mendapat 7.500 dolar Australia untuk itu," kata dia.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...