Pakar Hukum: Kebinekaan Elemen Penting Mencegah Ujaran Kebencian
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pakar Hukum dan Pemerhati Hak Asasi Manusia, Todung Mulya Lubis mengemukakan pluralisme, Pancasila dan kebinekaan merupakan aset penting untuk rakyat Indonesia dalam menangkal arus informasi yang bernuansa ujaran kebencian atau hate speech.
“Kalau kita melihat hate speech di Indonesia, jelas kita punya modal dasar yang menyatukan kita yakni kebinekaan dan pluralitas kita,” kata Todung saat memberi materi dalam Diskusi Publik: “Penebaran Kebencian, Problem Intoleransi dan Peranan Penegak Hukum” di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, hari Senin (27/2).
Todung mengatakan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan pluralisme merupakan aset berharga yang dimliki Indonesia, namun sayang sekali saat ini sedang diobrak-abrik oleh segelintir orang yang memiliki kepentingan bernuansa politik.
“Ujaran kebencian saat ini sudah sangat masif disuarakan kelompok-kelompok tersebut, di berbagai media, terutama media sosial, hingga seolah-olah kelompok yang berpegang kepada pluralisme dan Pancasila semakin hilang dari Indonesia,” kata dia.
Dia menceritakan beberapa waktu lalu dia sudah bertemu Presiden Joko Widodo dan membicarakan tentang perkembangan media sosial termasuk dengan banyaknya berita bohong (hoax), dan ujaran kebencian.
“Saya mengatakan kepada Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo), saya gundah melihat ujaran kebencian yang sangat masif dan saya menyetujui pemblokiran terhadap sejumlah konten di media sosial dalam batas-batas tertentu,” kata dia.
Todung menceritakan kembali dalam pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo, selain diperlukan pengawasan terhadap konten media sosial, pemerintah juga disarankan melakukan tindakan-tindakan represif dan menciptakan regulasi tegas untuk menangkal berita bohong yang begitu masif akhir-akhir ini.
Dia menambahkan jika pemerintah dan berbagai elemen masyarakat tidak melakukan tindakan tegas, maka Indonesia akan membayar mahal ongkos politik dari berkembangnya berita bohong atau ujaran kebencian yakni munculnya radikalisme, terorisme, dan intoleransi.
Terkait dengan pemblokiran terhadap sejumlah konten media sosial yang bernuansa berita bohong, provokasi, atau berisi ujaran kebencian, dia mengatakan dalam perkembangan media sosial di Indonesia, sejak lama terdapat banyak perbedaan pendapat tentang perlunya penanganan hukum kepada pelaku penyebar ujaran kebencian.
“Di satu sisi demokrasi media sosial tidak boleh diintervensi, jadi intervensi terhadap regulasi harusnya sangat minimal, dan melalui putusan pengadilan bukan melalui Undang-Undang atau peraturan pemerintah,” kata dia.
Di sisi lain, kata dia, ada kelompok yang berpendapat media sosial seharusnya diatur sistem dan mekanisme sendiri seperti sebuah pemerintahan. “Media sosial diatur self governance,” kata dia.
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...