Pakar Prediksi Suhu dan Kelembaban Ekstrem Ancam Nyawa Manusia
SATUHARAPAN.COM-Panas dan kelembaban ekstrem diperkirakan akan meningkat di seluruh dunia, dan mengancam jutaan nyawa dan ekonomi di tempat-tempat yang bisa berakibat fatal pada orang yang bekerja di luar ruangan, kata para ilmuwan, hari Jumat (8/5).
Beberapa wilayah Australia, India, Bangladesh, Teluk, China, Meksiko, dan Amerika Serikat telah mengalami ratusan insiden panas dan kelembaban ekstrem sebelumnya sejak 1979, kata studi itu dalam jurnal Science Advances.
Kondisi ini hanya berlangsung satu hingga dua jam, tetapi perubahan iklim kemungkinan akan lebih panjang hingga sekitar enam jam pada tahun 2060 dan area yang terkena dampak lebih luas, kata penulis utama artikel itu, Colin Raymond pada Thomson Reuters Foundation.
"Itu semacam perkiraan konservatif, tapi itu masih lebih awal dari yang diproyeksikan orang lain," kata Raymond, yang melakukan penelitian ketika sebagai mahasiswa PhD di Universitas Columbia dan sekarang bekerja untuk NASA.
Suhu dan kelembaban mempersulit orang untuk mengeluarkan keringat, yang menyebabkan risiko kesehatan, termasuk stroke panas, yang dapat membunuh atau melumpuhkan korban yang tidak dirawat, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat.
Perjanjian Paris
Banyak ilmuwan sedang meneliti potensi peningkatan panas yang ekstrem dan dampaknya terhadap ekonomi dan kesehatan, dengan masalah kesehatan mental yang membumbung tinggi karena orang sulit tidur dan bekerja.
Membatasi pemanasan hingga 1,5C di atas zaman pra-industri adalah tujuan paling ambisius dari Perjanjian Paris 2015 tentang perubahan iklim dan suhu dunia yang telah meningkat sebesar 1,2C.
Sebuah makalah terpisah yang diterbitkan pekan ini oleh Universitas Wageningen, Belanda memperingatkan sepertiga umat manusia "hampir tidak dapat hidup" pada suhu udara di atas 29 derajat Celcius (84,2 ° F) pada tahun 2070.
Dalam studi yang dipimpin Universitas Columbia, data dari hampir 8.000 stasiun cuaca menunjukkan mendekati atau melebihi 30C, ini telah berlipat dua sejak 1979, dan dua tempat, Teluk dan Lembah Sungai Indus, Pakistan, melaporkan suhu di atas 35C.
Dampak pada Perekonomian
"Kita mungkin lebih dekat ke titik kritis nyata tentang ini daripada yang kita pikirkan," Radley Horton, kata rekan penulis dan ilmuwan iklim di Lamont-Doherty Earth Observatory, Columbia.
Bertahan hidup dalam kondisi seperti itu membutuhkan adaptasi pada bangunan untuk memberikan keteduhan dan pendinginan, dan juga perilaku manusia, termasuk meminimalkan bekerja di luar ruangan, kata Raymond. Dan hal ini sangat mengganggu pertanian dan perdagangan, dengan banyak orang miskin tidak mampu membeli AC, kata Horton.
Studi ini berfokus pada suhu "gelembung basah", yang menurut para ilmuwan mencerminkan efek gabungan dari suhu dan kelembaban, indikator stres panas yang lebih bermanfaat. Gelombang panas terjadi Rusia pada 2010, dengan suhu hampir 40C yang menewaskan puluhan ribu orang, mengalami suhu “gelembung basah" tidak lebih besar dari 28C, kata surat kabar di sana.
Editor : Sabar Subekti
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...