Penelitian Ungkap Vitamin D Berpengaruh pada Angka Kematian COVID-19
CHICAGO, SATUHARAPAN.COM – Sebuah tim peneliti yang dipimpin Northwestern University (NU) menemukan bahwa pasien yang kekurangan vitamin D dua kali lebih mungkin mengalami komplikasi parah, termasuk kematian, demikian menurut rilis berita yang diunggah di situs web NU pada Kamis (7/5).
Setelah melakukan analisis statistik data dari rumah sakit dan klinik di seluruh China, Prancis, Jerman, Italia, Iran, Korea Selatan, Spanyol, Swiss, Inggris, dan Amerika Serikat, para peneliti menemukan korelasi kuat antara kadar vitamin D dan badai sitokin, kondisi peradangan yang disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif, serta korelasi antara kekurangan vitamin D dan kematian.
“Badai sitokin dapat sangat merusak paru-paru, serta menyebabkan sindrom gangguan pernapasan akut dan kematian pada pasien,” kata Ali Daneshkhah, research associate pascadoktoral di NU, sekaligus penulis utama studi tersebut.
“Inilah yang tampaknya membunuh sebagian besar pasien COVID-19, bukan perusakan paru-paru oleh virus itu sendiri. Penyebab kematian pasien COVID-19 yang dimaksud adalah komplikasi akibat ‘tembakan salah sasaran’ oleh sistem kekebalan tubuh.”
Vitamin D tidak hanya meningkatkan sistem kekebalan tubuh manusia, tetapi juga mencegah sistem kekebalan tubuh menjadi terlalu aktif sehingga membahayakan. Artinya, memiliki kadar vitamin D yang sehat dapat melindungi pasien dari komplikasi parah, termasuk kematian akibat COVID-19.
“Analisis kami menunjukkan bahwa (kadar vitamin D yang sehat) mungkin dapat memangkas separuh angka kematian,” kata Vadim Backman dari NU, seorang profesor teknik biomedis di McCormick School of Engineering di NU. “Vitamin D tidak akan mencegah pasien tertular virus, tetapi dapat mengurangi komplikasi dan mencegah kematian pada mereka yang terinfeksi.”
Backman mengatakan korelasi ini mungkin membantu menjelaskan banyak misteri seputar COVID-19, seperti mengapa anak-anak memiliki kemungkinan lebih kecil untuk meninggal. Anak-anak belum memiliki sistem kekebalan tubuh yang dikembangkan sepenuhnya, yang merupakan garis pertahanan kedua sistem kekebalan tubuh dan lebih cenderung bereaksi berlebihan.
“Anak-anak terutama mengandalkan sistem kekebalan tubuh bawaan mereka,” kata Backman, “Ini mungkin menjelaskan mengapa angka kematian mereka lebih rendah.”
Backman mengatakan dibutuhkan lebih banyak penelitian untuk mengetahui bagaimana cara paling efektif menggunakan vitamin D untuk melindungi diri terhadap komplikasi COVID-19.
“Sulit untuk mengatakan dosis mana yang paling bermanfaat untuk COVID-19,” ujar Backman, “Namun, jelas bahwa kekurangan vitamin D berbahaya, dan dapat dengan mudah ditangani dengan suplemen yang tepat. Ini mungkin kunci lain untuk membantu melindungi populasi yang rentan, seperti pasien Afrika-Amerika dan pasien lanjut usia, yang memiliki prevalensi kekurangan vitamin D.”
Penelitian tersebut tersedia di medRxiv, server pracetak untuk ilmu kesehatan. (Xinhua/Ant)
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...