Pakar Sarankan Delik Perkosaan Diatur di Luar KUHP
PEKANBARU, SATUHARAPAN.COM – Pakar Hukum Pidana dari Universitas Riau (Unri) Dr Erdianto Effendi SH, MHum, menyarankan delik perkosaan juga diatur di luar KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) untuk melindungi dan menjamin akses keadilan bagi korban.
“Delik perkosaan juga diatur di luar KUHP itu diperlukan karena hingga kini Rancangan KUHP belum juga disahkan, pengesahan KUHP memakan waktu lama, sementara korban perkosaan terus bertambah dari hari ke hari,” kata dia di Pekanbaru, Selasa (28/1).
Ia mengatakan hal itu terkait pemberitaan media akhir-akhir ini tentang kasus kekerasan seksual. Kasus perkosaan yang dilakukan penyair Sitok Srengenge terhadap RW, kasus perkosaan oleh CK, seorang fotografer dengan korban ANS, serta kasus pelecehan seksual yang dilakukan salah seorang pejabat sebuah perusahaan media terhadap bawahannya yang terungkap belum lama ini.
Menurut Erdianto, delik perkosaan juga diatur di luar KUHP itu diperlukan karena penegak hukum terbatas pada definisi perkosaan menurut KUHP yang sekarang.
Bahkan, katanya, proses pembahasan RUU KUHP, jauh lebih sulit daripada proses pembahasan satu undang-undang saja. Di samping itu jika perkosaan diatur di luar KUHP itu berarti perkosaan menjadi tindak pidana khusus.
“Sebagai hukum pidana khusus, dapat dimungkinkan penyimpangan atas ketentuan umum dan asas KUHP,” katanya.
Karena itu, terkait jumlah korban perkosaan yang terus meningkat dan proses pembuktiannya sulit, maka tidak ada salahnya diberlakukan sejumlah ketentuan khusus baik secara material maupun secara formal, diperlukan sistem pembuktian khusus untuk mengungkapkan perkara perkosaan yang dapat tidak terikat pada ketentuan hukum acara pidana menurut KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
KUHP itu berisi pasal-pasal atau peraturan yang mengatur tentang hukuman apa yang diterima oleh seseorang jika melakukan suatu tindak pidana. KUHAP itu mengatur tata cara atau pelaksanaan seseorang yang tersangkut kasus hukum pidana.
Selain itu, karena ada kemungkinan terus terjadi perkembangan modus perkosaan, dengan dibuat dalam hukum pidana khusus, maka proses perubahan undang-undang yang berbentuk khusus jauh lebih mudah ketimbang jika ia tetap masuk dalam KUHP yang terkodifikasi.
Diakuinya bahwa perspektif perkosaan menurut KUHP yang sekarang ini berlaku kurang mengindahkan faktor korban. KUHP sekarang berorientasi kepada pelaku saja, ujarnya.
Apalagi, dasar filosofis delik dalam KUHP sekarang berlandaskan nilai-nilai individual, persepsi masyarakat dan korban kejahatan diabaikan.
Dalam Rancangan KUHP, sebenarnya sudah diusahakan mengakomodasi hak-hak korban, khususnya kasus-kasus delik kesusilaan.
Delik perkosaan dalam Rancangan KUHP jauh lebih luas sehingga dapat melindungi wanita dari ancaman perkosaan secara lebih luas pula.
“Dalam rancangan KUHP termasuk sebagai perkosaan adalah persetubuhan yang bertentangan atau tanpa persetujuan korban, jadi tidak harus ada kekerasan terlebih dahulu dari si pelaku seperti saat ini,” katanya.
Secara psikologis saja korban tidak menghendaki, unsur perkosaan sudah terpenuhi. Persetujuan pun harus bersyarat, tidak semua persetujuan dapat menghapuskan unsur perkosaan, seperti persetujuan yang dicapai melalui ancaman, persetujuan karena si wanita mengira itu suaminya, dan persetujuan wanita di bawah 14 tahun, tidak dapat menghapuskan unsur delik perkosaan.
Dari segi modus, katanya, perkosaan tidak saja harus diartikan masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan, tetapi memasukkan ke mulut (oral) atau anus dapat juga dikualifikasi sebagai perkosaan dan termasuk pula memasukkan benda lain yang bukan alat kelamin laki-laki ke dalam vagina, anus, dan mulut perempuan secara paksa juga sudah dapat dikualifikasi sebagai delik perkosaan. (Ant)
Editor : Bayu Probo
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...