Pakistan Abaikan Seruan Agar Tunda Pengusiran Warga Afghanistan
Sebuah ledakan menyasar polisi, lima warga sipil tewas di Provinsi Khyber Pakhtunkhwa, dekat perbatasan dengan Afghanistan.
ISLAMABAD, SATUHARAPAN.COM-Pakistan membuka lebih banyak pos perbatasan pada hari Jumat (3/11) untuk mempercepat pemulangan puluhan ribu warga Afghanistan yang tidak memiliki dokumen, kata seorang pejabat. Negara itu mengabaikan seruan para pengungsi dan kelompok hak asasi manusia untuk mempertimbangkan kembali rencana pengusiran massal mereka.
Fasilitas di perbatasan barat laut Torkham, tempat sebagian besar imigran masuk kembali ke Afghanistan, telah ditingkatkan tiga kali lipat untuk memenuhi peningkatan jumlah pengungsi yang kembali, kata Abdul Nasir Khan, wakil komisaris distrik Khyber.
“Semuanya normal sekarang, karena para pengungsi yang kembali tidak perlu lagi mengantri berjam-jam,” katanya kepada Reuters tentang penyeberangan tersebut, di mana ribuan orang memadati setelah batas waktu pada hari Rabu (1/11) berakhir bagi warga Afghanistan yang tinggal di negara tersebut untuk pergi secara ilegal.
Pakistan telah mengabaikan seruan dari PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa), kelompok hak asasi manusia dan kedutaan besar negara-negara Barat untuk mempertimbangkan kembali rencananya untuk mengusir lebih dari satu juta dari empat juta warga Afghanistan di negara tersebut, dengan mengatakan bahwa mereka terlibat dalam serangan militan ekstremis dan kejahatan yang merusak keamanan negara tersebut.
Kabul membantah tuduhan tersebut, dan mengatakan keamanan Pakistan adalah masalah dalam negeri, dan menyerukan Islamabad untuk mempertimbangkan kembali keputusannya.
Pemerintahan Taliban di Afghanistan, yang berupaya mengatasi gelombang pengungsi yang datang secara tiba-tiba, telah mendirikan kamp-kamp transit sementara di mana bantuan makanan dan medis akan diberikan.
Pihak berwenang Pakistan mulai menangkap orang asing, sebagian besar warga Afghanistan, beberapa jam sebelum batas waktu. Orang-orang tidak berdokumen yang tidak meninggalkan negaranya akan ditangkap dan diusir secara paksa sebagai akibat dari ultimatum pemerintah yang disampaikan sebulan yang lalu.
Banyak migran meninggalkan Afghanistan selama beberapa dekade konflik bersenjata sejak akhir tahun 1970-an, sementara pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban setelah penarikan pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat pada tahun 2021 menyebabkan eksodus lainnya.
Khan mengatakan, 19.744 warga Afghanistan telah melintasi perbatasan pada hari Kamis (2/11), dari 147.949 sejak pemerintah mengumumkan batas waktu. Lebih dari 35.000 warga Afghanistan yang tidak memiliki dokumen telah keluar melalui perbatasan barat daya Pakistan lainnya di Chaman.
Pihak berwenang Pakistan mengatakan mereka terbuka untuk menunda repatriasi bagi orang-orang yang memiliki masalah kesehatan atau masalah lain yang menghalangi mereka untuk melakukan perjalanan.
“Seorang perempuan hamil tujuh bulan datang dan meminta untuk pergi bersama keluarganya,” kata Wakil Komisaris Junaid Iqbal di kota pelabuhan selatan Karachi, yang diperkirakan memiliki populasi terbesar warga Afghanistan yang tidak memiliki dokumen.
Seperti tempat-tempat lain, kota terbesar di Pakistan ini telah mendirikan pusat penampungan di mana para imigran ditampung sebelum melakukan perjalanan ke salah satu dari dua wilayah perbatasan utama, di mana seorang dokter perempuan akan memeriksa perempuan migran.
“Kami menyuruhnya pulang dan melahirkan bayinya di Pakistan dan kembali bersama keluarganya nanti demi kesejahteraan ibu dan anaknya,” kata Iqbal.
Islamabad telah melonggarkan persyaratan biometrik bagi perempuan dan anak-anak Afghanistan untuk menyelamatkan mereka dari proses berjam-jam di perbatasan.
Bom Meledak, Lima Orang Tewas
Sementara itu dilaporkan bahwa sbuah ledakan bom yang menargetkan mobil polisi Pakistan di barat laut Pakistan terjadi pada hari Jumat (3/11) menewaskan lima warga sipil dan melukai 21 orang, kata para pejabat.
Serangan itu terjadi di Dera Ismail Khan, sebuah kota di Provinsi Khyber Pakhtunkhwa dekat perbatasan Afghanistan di mana militansi meningkat dalam beberapa bulan terakhir.
“Bomnya ditanam di sepeda motor. Sasaran ledakan adalah mobil polisi,” kata Zafar Islam, pejabat senior pemerintah di distrik tersebut, kepada AFP. “Lima orang tewas. Semua yang tewas adalah warga sipil.”
Seorang perempuan dan seorang anak berusia tujuh tahun serta delapan personel polisi termasuk di antara korban luka, katanya. Bilal Faizi, juru bicara Rescue 1122, membenarkan ledakan tersebut dan jumlah korban jiwa.
Belum ada kelompok yang mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut namun gerakan Tehreek-e-Taliban Pakistan (TTP) yang tumbuh di dalam negeri Pakistan aktif di wilayah tersebut.
Kelompok ini semakin berani dengan kembalinya kekuasaan Taliban di negara tetangga Afghanistan pada tahun 2021. Islamabad sering menuduh tetangganya menyembunyikan militan, tuduhan yang dibantah oleh Afghanistan.
Mereka sebagian besar berfokus pada penargetan pasukan keamanan, dan warga sipil terkadang terjebak dalam kekerasan tersebut. (Reuters/AFP)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...