Pameran Seni Rupa “Dia de Los Muertos”
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Mengenang kembali kawan seperjuangan dalam berkesenian dan berkebudayaan, Asmara Rupa sebuah program dari Asmara art & coffee shop untuk memberikan ruang bagi seniman-perupa mempresentasikan karyanya, menghelat pameran seni rupa bertajuk Dia de Los Muertos.
Pameran dibuka oleh seniman-perupa Ugo Untoro, Senin (2/9) malam. Dalam sambutannya Ugo menyampaikan bagaimana kontribusi seniman-perupa, yang telah meninggal dunia yang karyanya ikut dipamerkan, bagi perjalanan seni rupa Indonesia khususnya Yogyakarta.
“Mereka telah mempersembahkan tubuh, hati, dan pikiran, hingga akhir hidupnya tanpa lelah. Tanpa sesal. Tanpa keluh. Sebab pikiran juga mengandung resiko seperti kehidupan yang mengandung kematian. Mereka adalah para martir yang menghadapi kematiannya dengan senyum kemenangan karena seni telah menyelamatkan mereka,” jelas Ugo saat memberikan sambutan pembukaan pameran.
Ugo juga memberikan kesaksian perjalanan proses bersama seniman-perupa yang telah meninggal semenjak kampus ISI Yogyakarta masih berada di Gampingan, Wirobrajan.
“Saya merasa lukisan saya paling jelek di kampus (ISI Yogyakarta). Tiba-tiba ada S Teddy yang lukisannya lebih jelek lagi. Saya langsung merasa Teddy ini berani. Hanya waktu itu dia lebih ke ide, pemikiran, membicarakan seni rupa secara benar konseptualnya. Mas, ajarin aku melukis dong. Dia yang paling semangat belajar melukis. Dini hari datang ke tempat saya dengan membawa satu rol kanvas. Semangatnya sangat total. Seperti menyerahkan hidupnya untuk seni,” jelas Ugo.
Bagi Ugo tahun 1990-an di kompleks Gampingan (kampus ISI Yogyakarta) seperti ada atmosfir baru dalam penciptaan (karya seni) yang penuh dengan semangat, dinamis, perdebatan yang sengit sekaligus tahun terbaik bagi saya dan teman-teman yang ada saat itu. Era yang sangat bergairah bagi dunia seni rupa di Yogyakarta saat itu. Kita berproses tanpa pretensi apapun. Hiperbolnya, seniman memperjuangkan dan menyerahkan hidup kita untuk seni.
Tahun 1990-an dimana kampus menjadi ajang penggodogan mental dan gagasan maupun eksperimen-eksperimen yang sering kali ekstrim. Tahun-tahun itulah mereka datang membakar Gampingan dengan semangat bahasa keberanian yang baru dan luar biasa saat itu. Mereka inilah yang telah menyerahkan pikiran, hati, dan tubuhnya secara penuh untuk dunia yang mereka pilih: seni. Hingga seni hari ini menjadi lebih kaya bahasa, idiom, dan dinamis meskipun ada semangat dan karakter yang mulai hilang saat ini.
Seniman-perupa yang terlibat dalam pameran Dia de Los Muertos adalah S Teddy D (alm) Yustoni Volunteero (alm), Dwi Setiawan (alm), Titus Garu Himawan (alm), Fuad Danar Sucipto (alm), Lulus Santosa (alm), Afiriana Dewi (alm), Danang Spike (alm), Alberthus Taruna Kromen (alm), serta Tatang Rahman (alm).
Karya kesepuluh seniman-perupa yang telah meninggal tersebut dipajang di dinding Asmara art & coffee shop bersama karya seniman-perupa Arya Panjalu, Bob 'Sick' Yudhita, Theresia Agustina Sitompul, Lelyana Kurniawati, Budi Santosa, Danang Hpe, Tohjaya Tono, Ali Vespa, Fatoni Makturodi, Joko 'Gundul' Sulistiyono, Marthin Louis Kromen, Efnu Nirwana, Rudi 'Grakk' Ardianto, Dhomas 'Kampret' Yudhistira.
Seniman-perupa yang telah meninggal tersebut diakui memberikan pengaruh yang signifikan bagi perkembangan seni rupa kontemporer di Yogyakarta sejak tahun 1990-an hingga saat ini.
Publik seni rupa tentu masih ingat dengan aksi mendiang S Tedy Darmawan bersama Yustoni Volunteero saat membuat performance art di pelataran Jogja National Museum pada pertengahan tahun 1990-an dalam sebuah dialog tanpa kata. Kedua seniman-perupa duduk di atas kursi dalam posisi berseberangan dan sibuk dalam dialog bisu di tengah lapangan depan Pendapa Ajiyasa Jogja National Musuem. Menariknya, kedua seniman-perupa hanya mengenakan penutup kepala (peci) tanpa selembar kain pun menempel di badannya. Aksi tersebut membuat geger seni rupa Yogyakarta dan terus dicatat dalam ingatan kolektif dunia seni rupa Indonesia.
Secara kekaryaan maupun kolektivitas, seniman-perupa yang telah meninggal memberikan pengaruh bagi tumbuhnya komunitas maupun ruang-ruang kolektif di Yogyakarta yang menjadi gerbong bagi pergerakan seni rupa kontemporer maupun pembacaan dinamika-realitas-isu sosial politik saat itu hingga hari ini, salah satunya Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi.
Día de Los Muertos dalam bahasa Spanyol memiliki arti Hari Peringatan bagi Orang-orang yang Telah Meninggal adalah sebuah hari raya Meksiko yang diperingati di seluruh Meksiko, terutama di wilayah bagian Tengah dan Selatan, dan oleh orang-orang keturunan Meksiko yang tinggal di tempat lain, terutama Amerika Serikat.
Día de Los Muertos diakui secara internasional di banyak budaya lainnya. Hari raya yang diperingati lebih dari satu hari ini berfokus pada berkumpulnya keluarga dan teman untuk mendoakan dan mengenang teman dan anggota keluarga yang telah meninggal dunia, dan membantu mendukung perjalanan spiritual mereka. Pada tahun 2008, tradisi tersebut didaftarkan dalam Daftar Warisan Budaya Tak benda UNESCO.
Manusia percaya akan tetap bisa menjalin komunikasi dengan mereka yang sudah meninggal dunia, dengan leluhur yaitu dengan jalan ritual dan doa. Hidup dan kematian adalah sebuah perjalanan, saat ini kita masih melakukan ziarah di dunia, kelak kita pun akan melakukan perjalanan yang sama dengan mereka yang telah mendahului kita di alam kematian. Komunikasi dengan mereka kita lakukan agar masing-masing pihak (kita yang masih hidup dan mereka yang telah meninggal) dapat saling membantu dalam laku ziarah hidup yang sedang kita jalani.
Pameran Día de Los Muertos yang berlangsung di Asmara art & coffee shop, Jl. Tirtodipuran no 22 Yogyakarta 2-11 Septe,ber 2019 menjadi sebentuk penghormatan dan komunikasi dengan mereka, kawan-kawan, saudara, dan sahabat kita yang telah meninggal dunia. Mereka yang telah pergi tak kan pernah kembali. Namun dengan segala pencapaian yang telah disumbangkan bagi seni berikut pewarnaannya, mereka sesungguhnya tidak pernah pergi.
Ars longa, vita brevis : seni tan winates, gesang punika ringkes.
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...