Panel Antariman Bahas HAM dan Perubahan Iklim
JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Sebagai organisasi yang ke seluruh dunia mempromosikan tindakan yang kuat terhadap perubahan iklim, Dewan Gereja Dunia (The World Council of Churches/WCC) dan Forum Antariman Jenewa untuk Perubahan Iklim, Lingkungan Hidup, dan Hak Asasi Manusia (Geneva Interfaith Forum on Climate Change, Environment and Human Rights) menyelenggarakan acara pendukung Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 22 Juni, bertema “Hak Asasi Manusia dan Perubahan Iklim: Dimensi Spiritual dan Negosiasi menuju Paris”.
Acara tersebut adalah bagian dari strategi WCC untuk menggalang isu terhadap kegiatan di sekitar Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Conference on Climate Change/COP21) di Paris. Juga, memfasilitasi diskusi tentang perubahan iklim dan hak asasi manusia dari perspektif etika dan spiritual. Acara tersebut berbentuk panel dari perwakilan organisasi keagamaan dan misi peduli dengan isu-isu perubahan iklim, keadilan, dan hak asasi manusia.
Salah satu panelis, Uskup Agung Silvano Tomasi M., wakil tetap dari Takhta Suci untuk PBB di Jenewa, mengambil tema dari isi terbaru Ensiklik Paus Fransiskus “Laudato Si”. “Yang dilakukan Ensiklik adalah untuk tidak mengambil pendekatan ilmiah untuk perubahan iklim. Sebaliknya, Ensiklik itu memperhitungkan apa yang telah dinyatakan oleh para ilmuwan, tetapi diterjemahkan ke dalam dimensi spiritual yang kuat sehingga dapat dipahami sebagai dasar juga untuk komunitas-komunitas iman,” katanya.
Nahida Sobhan dari Perutusan Tetap Bangladesh untuk PBB di Jenewa berkomentar, “Karena hak asasi manusia secara langsung dipengaruhi oleh perubahan iklim dan kerentanan orang yang berbeda bervariasi secara luas di seluruh masyarakat dan negara, sangat penting bahwa kami mencapai kesepakatan yang mengikat di COP21 .” “Perjanjian tersebut harus didasarkan pada nilai-nilai keadilan, keadilan dan martabat,” ia menambahkan.
Isaiah Toroitich, Koordinator Kebijakan Global dan Advokasi di ACT Alliance, menekankan bahwa perubahan iklim tidak hanya masalah lingkungan, atau masalah ekonomi, tetapi juga masalah spiritual. “Secara pribadi, karena berasal dari Kenya, saya telah melihat betapa perubahan iklim memengaruhi cara Anda membangun komunitas Anda, cara Anda melakukan pertanian Anda, dan bahkan cara Anda menaruh makanan di atas meja,” katanya.
Artikel terkait tentang COP21 |
Yves Lador, perwakilan permanen di Jenewa untuk Earthjustice, berkomentar, bahwa “perjanjian yang akan dibuat di COP21 sebenarnya langsung terkait dengan tatanan dunia yang keluar dari Perang Dunia II, sebuah tatanan dunia yang sama sekali tidak sesuai lagi dengan kondisi zaman.”
Para panelis sepakat bahwa hasil COP21 harus menjadi titik awal, ketimbang kerangka tetap. Yves Lador mengatakan, “Pada COP21, saya percaya kita akan bekerja dengan usaha sukarela bahwa negara-negara membawa ke meja perundingan. Saya berharap bahwa kita dapat bergerak melampaui hanya membahas lingkungan, dan berhasil dalam melindungi hak asasi manusia dalam segala hal yang berhubungan dengan perubahan iklim, termasuk masalah hak-hak gender, hak-hak masyarakat adat, dan banyak lagi,” ia menyimpulkan. (oikoumene.org)
Ikuti berita kami di Facebook
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...