Panti Asuhan Desa Putera Tetap Berikan Pengasuhan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Meskipun panti asuhan didirikan untuk menyelamatkan pendidikan, terutama anak-anak miskin, namun tetap memberikan pengasuhan yang dibutuhkan anak. Sebagaimana pelayanan yang diberikan Panti Asuhan Desa Putera (Padestra), yang berlokasi di Jalan Desa Putera, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
“Sesuai dengan tujuan utama di sini, yaitu menyelamatkan pendidikan anak, terutama dari keluarga tidak mampu yang rata-rata tidak bisa menyekolahkan anak. Tetapi anak-anak yang tinggal di panti sendiri tetap membutuhkan pengasuhan, maka pendidikan dan pengasuhan itu berjalan beriringan,” ungkap Veronika, salah satu pengurus Padestra, saat ditemui satuharapan.com, Selasa (15/4).
Padestra sendiri sudah berdiri sejak tahun 1947. Tadinya panti asuhan ini didirikan untuk anak-anak korban perang yang kehilangan orang tuanya. Seiring perjalanan, banyaknya pihak-pihak yang peduli dan terus mengulurkan tangannya untuk anak-anak, maka Padestra bisa terus memberikan pelayanan untuk menyelamatkan pendidikan anak-anak.
“Kami tidak bisa menghitung seberapa besar fokus kami terhadap pendidikan maupun pengasuhan, tetapi ambilah sebagai contoh saat anak belajar, ada pengasuh yang mendampingi, bahkan saat makan pun anak-anak tetap didampingi,” kata wanita yang biasa disapa Ibu Vero itu menambahkan.
Pengurus yang bertanggung jawab sebagai sekretaris di Padestra tersebut menjelaskan di Panti Asuhan Desa Putera terdapat 84 anak, di antaranya 48 anak setingkat SD, 29 anak setingkat SMP, dan tujuh anak tingkat SMK/STM yang seluruhnya laki-laki. Sekolah SMK dipilih Padestra untuk anak-anak, karena mereka merencanakan setelah lulus sekolah, anak sudah mempunyai keterampilan khusus yang siap diterjunkan langsung ke lapangan kerja.
Terdapat 41 anak panti asuhan yang berasal dari keluarga broken home (retak), sedangkan lainnya merupakan anak yatim tujuh anak, piatu tujuh anak, keluarga miskin 29 anak, dan tiga anak yatim piatu yang tidak memiliki sanak keluarga, tetapi semuanya itu didasari keluarga tidak mampu.
Panti asuhan yang dikepalai oleh Br. Tarcisius dari Sekolah Budi Mulia itu, berlokasi di tanah yang luasnya sekitar lebih kurang 500 meter persegi, termasuk di dalamnya terdapat fasilitas Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas), lapangan olah raga (sepak bola, futsal, voli, bulu tangkis, tenis meja), laboratorium komputer, sebagai tempat bagi anak-anak menyalurkan minat.
Pelatihan Pengasuhan bagi Pengurus
Untuk pelatihan bagi pengurus, Padestra bekerja sama dengan psikolog dari Universitas Tarumanegara (Untar). Pengurus panti asuhan sebanyak 29 orang, di mana empat di antaranya pengurus kantor, pengasuh sembilan orang, dan sisanya petugas cuci, masak, kebun, dan bersih-bersih.
“Jadi psikolog yang dari sarjana ingin melanjutkan ke S-2, memberikan karyanya di sini. Pelatihan yang diberikan termasuk bagaimana menangani anak-anak bermasalah, dan cara mengasuh anak,” jelas Vero.
Pelatihan dari pemerintah, menurut Vero Jarang diberikan. Terakhir pelatihan yang diberikan oleh Dinas Sosial DKI Jakarta sekitar dua tahun lalu. Sebab itu, psikolog yang membantu pengurus kebanyakan dari lembaga yang bekerja sama dengan Padestra, dan psikolog intern dari yayasan sendiri.
Meskipun sudah ada pengurus, namun untuk mengajarkan disiplin pada anak-anak, tetap diberikan tugas untuk bersih-bersih, misalnya ada jadwal membereskan usai makan, membersihkan kamar dan
“Kami ada jadwal anak-anak untuk kebersihan, membereskan setelah makan, menyapu ruangan, dan itu dilakukan untuk sore hari, karena kalau pagi anak-anak kan sekolah,” kata Vero.
Dididik Secara Katolik, Tetap Bebas Punya Kepercayaan
Panti Asuhan Desa Putera merupakan salah satu panti asuhan di dalam yayasan Perhimpunan Vincentius Jakarta (PVJ) yang bernafaskan iman Katolik, namun tidak semua anak yang imannya Katolik. Anak-anak panti asuhan mengenyam bangku pendidikan di Sekolah Budi Mulia yang berlokasi tidak jauh dari Padestra, yang merupakan sekolah Katolik.
“Sekolah katolik tentu siapapun anak yang sekolah di sana tetap mendapatkan mata pelajaran agama Katolik, tetapi anak tidak dikatolikan. Sama seperti jika anak bersekolah di Sekolah Muhammadiyah mendapatkan mata pelajaran agama Islam,” urai Vero.
Meskipun demikian, bagi yang beriman nonkatolik, pelajaran agama Katolik hanyalah sebagai mata pelajaran saja, tidak harus benar-benar mengimani.
“Ada orangtua yang sudah berkomitmen dari awal, apabila si anak yang dititipkan tersebut nantinya akan mengimani Katolik, mereka akan setuju. Dengan alasan misalnya, karena mereka sendiri tidak punya agama,” kata Vero.
Bagi anak yang benar-benar ingin mengimani Katolik, Vero juga menegaskan tidak begitu saja langsung membaptis anak tersebut. Dia menceritakan, ada anak yang sudah sejak SD ingin mengimani Katolik, namun baru dibaptis ketika mereka SMA.
“Menjadi Katolik bukan hanya karena ingin saja, tetapi harus benar-benar mengimani. Karena itu, anak yang memutuskan menjadi Katolik harus menjalani pendidikan sebagai katekumen. Untuk menjadi katekumen, butuh waktu yang tidak hanya sebulan atau dua bulan saja, bahkan tidak hadir beberapa kali pun akan menjadi pertimbangan pengajar untuk menilai keseriusan si anak,” kata Vero.
Paskah tahun ini, Vero mengakui ada dua anak yang akan dibaptis, sebelumnya mereka memiliki iman lain. Anak-anak tersebut sudah cukup lama menjalani katekumen, dan mereka dianggap telah dewasa untuk menganut iman Katolik.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...