Para Akademisi Tolak Hukuman Mati
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Hukuman mati adalah salah satu bentuk kekerasan paling purba yang diresmikan oleh suatu negara. Indonesia mengalami kemunduran sejak eksekusi mati diinisiasi oleh Presiden Joko Widodo, yang mengembalikannya ke arah keterbelakangan. Ketiadaan grasi secara teliti untuk setiap kasus dinilai menutup pengampunan dan ketidakpedulian atas hidup manusia.
Persoalan tersebut disampaikan sejumlah akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta yang menggelar diskusi bertajuk “Akademisi Menolak Hukuman Mati“ di Jalan Cik Ditiro, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (7/3).
Hadir dalam diskusi Dr Bagus Taqwin psikolog Universitas Indonesia (UI), Robertus Robet sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Atnike Nova Sigiro Universitas Paramadina, Prof Sulistyowati Irianto Universitas Indonesia, serta Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar.
Para akademisi memandang bahwa hukuman dan kekerasan, apalagi hukuman mati, pada dasarnya tidak mengubah seseorang. Hukum dan kekerasan dinilai hanya menunda kejahatan seseorang, tapi tak akan bisa membuat orang menjadi lebih baik.
Orang menjadi baik hanya apabila dididik dan mengalami kebaikan. Kejahatan dapat dikurangi dengan berupaya membentuk masyarakat yang lebih sehat secara mental, berbelas kasih, dan manusiawi.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa hukuman mati tidak memberi efek jera.
Editor : Sotyati
Uskup Suharyo: Semua Agama Ajarkan Kemanusiaan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo mengatakan ap...