Para Pemimpin Gereja Serukan Penyelesaian Secara Damai di Ethiopia
ADIS ABABA, SATUHARAPAN.COM-Para pemimpin gereja menyerukan penyelesaian secara damai atas konflik di Ethiopia yang telah menyebabkan krisis kemanusiaan di negara itu,
“Sangat mengecewakan bahwa para pemimpin telah mengesampingkan kemungkinan untuk pembicaraan damai. Saya pikir ini dapat diselesaikan melalui cara-cara militer,” kata Pendeta Dr Fidon Mwombeki, Sekretaris Jenderal Konferensi Seluruh Gereja Afrika.
Konflik di Ethiopia dimulai pada 4 November setelah Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed melancarkan serangan militer terhadap wilayah semi-otonom Tigray, atas dugaan pengambilalihan pangkalan militer nasional di ibu kota, Mekelle, oleh Tigray People’s Liberation Front (TPLF).
Tindakan tersebut memicu pertempuran antara tentara nasional dan TPLF, dan pemimpin Tigrayan, Debretsion Gebremichael, bersumpah untuk mempertahankan wilayahnya.
Hampir dua pekan setelah konflik, ribuan pengungsi telah mengalir ke negara tetangga Sudan, di mana pertempuran dan serangan udara dilaporkan menewaskan ratusan orang. Pembantaian warga sipil juga telah dilaporkan di Mai-Kadra di Tigray barat daya.
Di bawah sistem federal Ethiopia, negara bagian yang mencerminkan komposisi etnis di kawasan itu diizinkan memiliki pasukan keamanan, parlemen, dan hak untuk referendum tentang pemerintahan sendiri.
Mwombeki, yang juga pendeta dari gereja Lutheran Tanzania, mengungkapkan kesedihannya bahwa Etiopia, yang telah dilihat sebagai mercusuar perdamaian, harapan, dan kebangkitan Afrika sekarang sedang mengalami konflik.
Pada 16 November, Konferensi Gereja Seluruh Afrika mengundang doa untuk kembalinya perdamaian dengan cepat di negara Tanduk Afrika, sambil mengungkapkan solidaritas dengan jutaan orang Etiopia yang terkena dampak konflik.
“Kecuali ada penyelesaian damai, menurut saya perang tidak akan menyelesaikan masalah. Kekerasan menghasilkan kekerasan,” kata dia memperingatkan.
Dewan Antar Agama
Dewan Antar Agama Ethiopia, sebuah kelompok Kristen dan Muslim yang termasuk Tewahedo Ortodoks Ethiopia, Gereja Katolik, Lutheran, dan Injili Ethiopia, antara lain mengungkapkan kesedihan atas konflik tersebut dan mengecam pembunuhan orang-orang yang tidak bersalah.
“Kami ingin mengingatkan Anda bahwa perang itu merusak. Ini adalah pilihan terburuk untuk digunakan, karena korban manusia dan ekonominya. Apalagi saat dua bersaudara bertengkar, tidak ada yang keluar sebagai pemenang,” kata dewan itu dalam pernyataan pada 5 November.
Para pemuka agama mengimbau pemerintah nasional dan Tigray untuk memprioritaskan keselamatan warga negara dan stabilitas bangsa.
Dewan mendesak Partai Kemakmuran (partai yang dibentuk Abyi Ahmed setelah membubarkan Front Demokrasi Revolusioner Rakyat Ethiopia yang berkuasa) dan TPLF untuk mengadakan dialog. Mereka menyerukan mediasi oleh para pemimpin agama. Para tetua, ibu-ibu, dan orang-orang berpengaruh dipanggil untuk mendorong rekonsiliasi.
Pada 7 November, Kardinal Berhaneyesus Souraphiel, Uskup Agung Katolik Addis Ababa, menyatakan penyesalannya karena upaya awal para pemimpin agama, sesepuh, dan pemangku kepentingan lainnya untuk membawa kedua belah pihak ke meja perundingan tidak berhasil.
“Kami khawatir perbedaannya sekarang berubah menjadi konflik bersenjata. Kami… mendesak para pihak untuk segera menghentikan konflik bersenjata dan memulai dialog damai,” kata Souraphiel.
Dalam sebuah pernyataan, komite eksekutif Dewan Gereja Dunia (WCC) mengangkat orang-orang dan gereja-gereja Ethiopia dalam doa. “WCC mengecam berbagai serangan kekerasan brutal terhadap gereja dan komunitas terutama yang mempengaruhi Gereja Ortodoks Tewahedo Ethiopia, pada anggota komunitas mana pun karena agama atau etnis, di gereja dan tempat-tempat suci, dan terhadap warga sipil oleh kelompok bersenjata,” bunyi pernyataan itu. “Kami berduka atas kematian begitu banyak orang dalam serangan baru-baru ini.”
Krisis Pengungsi
Ada kekhawatiran krisis kemanusiaan sedang berlangsung di Tigray saat ribuan pengungsi mencari perlindungan di Sudan timur. Menurut UNHCR, badan pengungsi PBB, perempuan, anak-anak dan laki-laki telah melintasi perbatasan dalam gelombang 4.000 orang per hari.
Sejauh ini, diperkirakan 27.000 telah mencapai Sudan melalui titik perbatasan Hamdayet di Negara Bagian Kassala, Ludgi di Negara Bagian Gedaref.
Semakin banyak pengungsi internal telah dilaporkan di Tigray, dengan badan-badan kemanusiaan tidak dapat memberikan tanggapan yang memadai karena kurangnya listrik, bahan bakar, layanan telekomunikasi dan uang tunai.
Jumlah tersebut bertambah menjadi lebih dari 100.000 pengungsi Eritrea di empat kamp di Tigray yang mengungsi dalam perang perbatasan Ethiopia-Eritrea tahun 1998-2000. (oikoumene.org)
Editor : Sabar Subekti
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...