Partai Rakyat Pekerja: Lindungi Penyelenggaraan Perburuhan di Indonesia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Komite Pusat Partai Rakyat Pekerja (PRP) menyatakan sikap terhadap perlindungan penyelenggaraan perburuhan di Indonesia melalui siaran pers yang dirilis, bertepatan dengan Hari Buruh Internasional 2013 hari ini, Rabu (1/5).
Pijakan yang dijadikan dasar PRP dalam pernyataannya ini adalah kebijakan pemerintah yang mencerminkan Rezim Neoliberal. Kebijakan ini dianggap mengisap dan menindas hak rakyat pekerja Indonesia hanya demi keuntungan pemilik modal. Khususnya di legalkannya sistem kontrak kerja dan outsourcing dalam melalui UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Legalisasi itu memberi peluang besar pada perusahaan untuk memberhentikan atau tidak memperpanjang kontrak kerja buruh. Kepastian kerja dari para buruh makin hilang.
Seperti dijelaskan dalam siaran pers tersebut, promosi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) kepada para pemilik modal tidak berpihak pada buruh Indonesia. Dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang menyebabkan upah buruh murah, pemerintah berharap pemilik modal mau berinvestasi di Indonesia. Dalam hal ini KP PRP menilai pemerintah telah menjadikan murahnya upah buruh Indonesia sebagai dagangan yang dijajakan kepada para pemilik modal.
Ketua PRP, Anwar Ma'ruf, yang juga menuliskan pernyataan ini memaparkan data yang dihimpun dari berbagai sumber mengenai perlindungan terhadap penylenggaraan perburuhan di Indonesia. Dari Bank Dunia dan ILO, pada tahun 2010 hanya 9,5 juta orang (atau 35 persen dari total) memiliki pekerjaan permanen sampai pensiun.
Sementara data Akatiga di tahun 2010 menunjukkan rata-rata upah buruh outsourcing di pusat industri Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kepulauan Riau rata-rata 26 persen lebih rendah dari para buruh tetap. Ditemukan juga bahwa para pemilik modal menginginkan tenaga kerja yang berusia di bawah 35 tahun.
Sedangkan dari data FAO tahun 2011 yang berjudul “Women in Agriculture”, menunjukkan 7 persen dari perempuan pedesaan di Indonesia mendapatkan upah atas kerja di perkebunan. sementara 55 persen di antaranya mendapatkan upah yang lebih rendah dari laki-laki dengan jam kerja yang sama.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan bahwa ada sekitar 8.000 konflik pertanahan. Sementara itu Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menemukan sekitar 1.700 konflik agraria. Senada dengan itu Sawit Watch juga menyebutkan ada 660 kasus mengenai perkebunan kelapa sawit. Tak ketinggalan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mencatat konflik agraria sektor perikanan sepanjang 2012 melibatkan 60.000 nelayan.
Deretan data yang panjang ini tidak pernah sepi dari keterlibatan perusahaan-perusahaan besar, baik dari pemilik modal asing maupun pemilik modal domestik.
Dari pernyataan ini, PRP mengajukan tiga seruan kepada yaitu pertama ajakan untuk membangun persatuan gerakan rakyat untuk melawan seluruh kebijakan yang menindas dan merugikan rakyat Indonesia, baik dialami oleh buruh, petani, nelayan, perempuan, mahasiswa, dan lain-lain.
Kemudian ajakan untuk membangun kekuatan politik alternatif dari seluruh gerakan rakyat untuk menumbangkan rezim neoliberal dan melawan sistem neoliberalisme di Indonesia. Terakhir, kapitalisme telah gagal untuk mensejahterakan rakyat, dan hanya dengan sosialisme-lah maka rakyat akan sejahtera.
Editor : Wiwin Wirwidya Hendra
Jakbar Tanam Ribuan Tanaman Hias di Srengseng
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Barat menanam sebanyak 4.700...