“Pasir Bawono Wukir” Mencari Sumbu Kreativitas Baru di Ruang Publik
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Tiga puluh tiga karya patung dari seniman-kelompok seni patung dipresentasikan di tiga ruang publik di wilayah Yogyakarta selama 17 November – 10 Desember 2019 pada Jogja Street Sculpture Project (JSSP) #3-2019 yang mengangkat tema “Pasir Bawono Wukir”.
Di area display Bantul yang berada di Pantai Gumuk Pasir, Dusun Grogol 10, Parangtritis, Kretek, dan Bantul, 13 karya patung. Di area display Sleman dipamerkan delapan karya di Utara Kopi Kali Petung, Petung, Kepuharjo, Cangkringan, sementara area display Kota Yogyakarta yang berada di Titik Nol Kilometer Yogyakarta sebanyak 12 karya didisplay di depan Kantor Pos Besar Yogyakarta, Museum BI, dan Museum Sonobudoyo.
JSSP #3-2019 mencoba menawarkan seni patung di ruang publik sebagai bentuk ekspresi budaya yang kreatif dan dinamis sebagai bagian dari penataan wilayah dan landmark, khususnya di kawasan yang termasuk dalam garis imajiner. Hal ini sejalan dengan upaya menciptakan ruang publik yang lebih ramah publik, berbudaya, dan menciptakan ruang dialog kreatif bagi keberagaman indentitas masyarakat pengguna ruang publik.
Di sisi lain JSSP menjadi eksperimentasi project seni di kawasan rural-urban dengan melibatkan sebanyak-banyaknya apresiasi-partisipasi publik/warga.
Dalam satu dasa warsa terakhir pariwisata di wilayah Yogyakarta menggeliat dengan cukup pesat ditandai dengan hadirnya destinasi-destinasi wisata yang menyebar di berbagai wilayah baik yang berada di wilayah utara dengan wisata alam pegunungan maupun wilayah selatan dengan wisata pantainya. Meskipun demikian, kawasan Malioboro secara umum masih menjadi pilihan wisatawan domestik untuk datang ke Yogyakarta.
Menarik ketika JSSP #3-2019 dengan tema “Pasir Bawono Wukir” mencoba menghubungkan filosofi garis imajiner yang sudah lama berkembang dalam alam pikir masyarakat dengan memberikan tafsir atas Sumbu Filosofis dan Garis Imajiner Yogyakarta dalam memperkaya tafsir tradisi.
Bagaimana kemudian berkembang pembacaan garis imajiner yang menempatkan Keraton Yogyakarta dalam pusat ketegangan dua kekuatan alam: gunung dan lautan. Garis imajiner tersebut secara langsung ataupun tidak langsung telah membentuk budaya masyarakat sejak lama bagaimana alam memiliki dampak terhadap lingkungan dan manusianya dalam relasi yang saling mempengaruhi secara dinamis, adaptif dan kreatif.
Salah satu kurator JSSP #3 Kris Budiman dalam seminar JSSP #3 yang dihelat pada Sabtu (7/12) menjelaskan bahwa garis imajiner dapat direntangkan menjadi sumbu filosofis. Garis imajiner dengan gunung dan laut membentuk poros linier. Hal tersebut juga terdapat di kerajaan lain khususnya di Jawa. Misalnya Kesultanan Banten, Kerajaan Singosari, dan Bali. Di luar Jawa, misalnya Kesultanan Pontianak. Cara pengaturan terhadap ruang dan sistem sosial menjadi pandangan dunia bagi suatu kerajaan. Berdasarkan hal ini Yogyakarta jadi unik sekaligus tidak unik sebab ditemukan dalam kesultanan lain. Keunikannya, pola spasial hingga kini masih bertahan utuh dan menjadi orientasi di keraton Yogyakarta.
“Orientasi ruang bisa bertranformasi menjadi orientasi nilai. Karya-karya seniman sangat ikonik karena merepresentasi tiga elemen penting yaitu laut, kota, dan gunung. Proses representasi dan reinterpretasi berdasar pada dua hal, yaitu data dan argumen,” papar Kris Budiman, Sabtu (7/12).
Public art memiliki watak partisipatif dan (produknya) interaktif (bisa disentuh, bahkan ada yang harus disentuh, menjadi bagian integral dari ruang publik). Tidak jarang masyarakat sekitar dilibatkan dalam proses, diajak bicara, diajak terlibat atau mengerjakan, minimal dijadikan dasar pertimbangan mengapa sebuah karya dianggap penting berada di suatu tempat tertentu.
Membaca Karya Seni di Ruang Publik
Display karya seni di ruang publik bukanlah semata-mata memindahkan sebuah karya untuk dinikmati khalayak. Dengan demikian sebuah karya seni ketika didisplay di ruang publik haruslah memiliki “daya ganggu” bagi publik. Daya ganggu tersebut bisa bersumber dari kombinasi banyak aspek-dimensi. Yang paling mudah adalah dimensi ukuran karya, seberapa besar ukuran fisik dan visual sebuah karya mampu menyita mata publik yang melintas.
Tema sebuah karya menjadi aspek berikutnya dalam memberikan sumbangan “daya ganggu” bagi mata publik. Bagaimanapun karya di ruang publik pada akhirnya akan hadir secara tunggal saat berjarak dekat dengan khalayak. Kekuatan tema sebuah karya bisa mereduksi ukuran fisik sebuah karya, meskipun karya-karya dalam ukuran besar dalam kapasitas ruang yang tersedia tetap memiliki daya tarik dan “daya ganggu” dibanding karya-karya yang berukuran kecil terlebih pada ruang publik urban yang cenderung sudah penuh sesak dengan aktivitas manusia di atasnya.
Aspek berikutnya adalah pembacaan ruang secara keseluruhan dalam mendisplay karya. Ruang publik di wilayah urban tentu berbeda dibanding dengan wilayah rural baik dalam kapasitas, luas, maupun aktivitas di atasnya dengan tantangan yang berbeda.
Pada ruang publik di wilayah perkotaan maupun perdesaan, aktivitas masyarakat yang ada sesungguhnya adalah patung sosial (social sculpture) yang dinamis. Dengan hiruk-pikuk di atasnya baik oleh aktivitas manusia ataupun bangunan beserta lanskapnya, display karya seni di ruang publik perlu kehati-hatian untuk menghindari bertambahnya “hiruk-pikuk” akibat display karya.
Dalam pembacaan yang sederhana, Titik Nol Kilometer Yogyakarta dalam kurun waktu terakhir setelah mengalami penataan dengan menambahkan bangku/tempat duduk, memperlebar area pejalan kaki beserta sarana penunjangnya telah menjadi magnet baru bagi berkumpulnya masyarakat.
Tanpa memperhatikan kapasitas ruang, menambahkan karya seni di ruang publik tentu menambah risiko hilangnya momentum bagi masyarakat untuk membaca representasi dan reinterpretasi atas karya yang disajikan dan hanya menambah “keriuhan” baru.
Mengambil contoh karya berjudul “Kaca MATA” yang dibuat Win Dwi Laksono yang ditempatkan di pojok perempatan berdekatan dengan lampu lalu lintas. Dalam dimensi yang tidak terlalu besar serta penempatan karya yang justru terkesan hanya menjadi bagian dari rambu-rambu jalan, “Kaca MATA” yang sesungguhnya mencoba menyampaikan pesan dan ajakan untuk membaca keadaan justru kehilangan “daya ganggu” ditelan lalu lalang lalu lintas Titik Nol Kilometer yang tidak pernah sepi. Ini akan berbeda jika membandingkan dengan karya Win Dwi Laksono pada JSSP #2-2017 berjudul “Perisai #2” yang dipajang di ujung taman pembatas (devider park) Jalan FM Noto Yogyakarta dan berhasil memprovokasi pelintas jalan untuk mendekat menikmati detail karya.
Hal yang sama seolah terulang pada karya berjudul “Nostalgia Udara Kota” yang dibuat oleh kelompok Klinik Art Studio. Dalam dimensi yang tidak terlalu tinggi serta penempatan karya berdekatan dengan pagar bangunan Museum BI yang ditumbuhi tanaman hias seolah harus berebut ruang dengan tiga karya lain dalam jarak yang relatif berdekatan. Tanpa mengamati dengan teliti, pejalan kaki yang melintas bisa jadi menganggap karya tersebut satu kesatuan dengan pagar bangunan.
Berbeda ketika membandingkan display karya berjudul “Persahabatan” yang didisplay di samping gedung sebuah bank. Visual karya dua karakter Spiderman dan Petruk yang sedang duduk di kursi kayu panjang didisplay berdekatan dengan bangku taman yang disediakan bagi pelintas untuk istirahat sejenak. Penempatan yang pas selain menjadi “daya ganggu” sekaligus mampu menghadirkan narasi karya yang ada menyatu dengan aktivitas pelintas sekaligus merekam dalam ingatannya. Pada karya “Persahabatan” penempatan karya yang pas serta tema yang kuat cukup mampu membangun relasi pelintas dengan karya seni sehingga menjadi bagian dari “persahabatan” itu sendiri.
Tentu masyarakat luas masih ingat dengan karya seni di ruang publik yang pernah disajikan di beberapa ruas jalan di wilayah Yogyakarta. Bagi sebagian besar masyarakat ingatan tersebut masih cukup membekas, bagaimana tokoh Spiderman sedang makan nasi pincuk di pinggir Jalan Margo Utomo saat JSSP #1-2015, atau Harry Susanto dengan patung berjudul "No Many No Live Match" yang mungkin memlesetkan kalimat no money no live match, dengan objek figur tukang becak menjungkirkan becaknya untuk bisa menikmati pertunjukan secara langsung dengan gratis pada JSSP #2-2017.
Dalam rentang tahun 2011-2014 karya patung sepasang kaki raksasa berwarna oranye berjudul “Manusia Akar” ataupun karya patung berbentuk nasi bungkus dalam ukuran besar yang dibuat seniman-perupa Budi Ubrux menjadi ingatan kolektif mereka yang pernah melintas di Titik Nol Kilometer Yogyakarta saat itu.
Melalui karya-karya yang bisa membahasakan dirinya itulah karya seni di ruang publik bisa membangun dialektika dengan masyarakat.
Editor : Sotyati
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...