“Samasta” Sanggar Dewata Indonesia dalam Citraan Hitam Putih
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Memperingati ulang tahunnya yang ke-49, Sanggar Dewata Indonesia (SDI) Yogyakarta menggelar pameran seni rupa. Pameran bertajuk “Samasta” dibuka oleh seniman peran Butet Kertaradjasa, Minggu (15/12) malam.
Tiga puluh empat seniman-perupa anggota SDI mempresentasikan karya dua-tiga matranya dalam rona hitam-putih di dua ruang seni di Sangkring art project dan Bale Banjar Sangkring.
Ke-34 seniman-perupa tersebut adalah Agus Putu Suyadnya, Dewa Gede Suyudana Sudewa, Dyah Ayu Santika Dewi, I Gusti Ketut Alit Arya Putra, I Gusti Nengah Nurata, I Gusti Ngurah Udiantara, I Kadek Didin Junaedi, I Kadek Suardana, I Made Agus Darmika, I Made Dabi Arnasa, I Made Dwidian Rasmana, I Made Surya Subratha, I Nyoman Agus Wijaya, I Nyoman Suyasa, I Putu Adi Suanjaya, I Putu Rivaldo Pramana, I Wayan Agus Novianto, I Wayan Bayu Mandira, I Wayan Piki Suyersa, I Wayan Sudarsana, Ig. Alnadhy Jiyesta, Ign Tri Marutama, Kadek Marta Dwipayana, Made Toris Mahendra, Nyoman Adiana, Nyoman Darya, Pande Gotha Antasena, Putu Adi Gunawan, Putu Bayu Andika, Putu Sastra Wibawa, Putu Sutawijaya, Setsu, Tjokorda Bagus Wiratmaja, dan Wayan Yusa Dirgantara.
Sanggar Dewata Indonesia dibentuk pada 15 Desember 1970 oleh mahasiswa seni yang merantau di Yogyakarta diantaranya Made Wianata, Nyoman Gunarsa, Pande Gde Supada, Nyoman Arsana, dan Wayan Sika. Sanggar Dewata Indonesia didirikan atas kesadaran berkreativitas dalam kebersamaan, keberagaman. Dalam perjalanannya SDI memelopori lahirnya dua penghargaan prestisius yang diberikan kepada para seniman profesional, budayawan, dan pendukung seni, berupa penghargaan ‘Lempad Prize’ dan ‘Cokot Prize’.
Dalam tulisan pengantar pameran salah satu anggota SDI yang juga pengajar pada Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta I Gede Arya Sucitra menjelaskan seniman SDI sejak awal telah menyadari akibat proses globalisasi, interaksi budaya (termasuk kesenian), baik antar bangsa maupun antar suku bangsa menjadi semakin intim sehingga perbedaan-perbedaan kesenian semakin kabur, akan tergusur oleh proses interaksi, adaptasi, adopsi, dan bahkan oleh perkawinan berbagai unsur seni budaya.
“Dengan demikian diperlukan kesadaran pengembangan dan transformasi seni rupa tradisi-modern Bali maupun seni rupa kontemporer Indonesia, melalui inovasi teknis, media dan gagasan, serta membuka kemungkinan jelajah pada jenis dan ruang ekspresi seni yang ‘lain’,” jelas Sucitra.
Samasta dalam bahasa Sansekerta memiliki arti “disatukan”. Dalam pameran seni rupa bertajuk “Samasta” melibatkan lintas generasi dari angkatan tahun 70-an hingga periode terkini 2018. Ketua SDI Agus Putu Suyadnya menjelaskan secara kuantitas terlihat peserta pameran kali ini lebih didominasi oleh perupa-perupa muda SDI. Namun secara kualitas, pameran ini menjadi ruang dialektika mental seniman SDI untuk bersatu bersama mewujudkan visi besar kesenian yang multikultur.
“Tanpa bermaksud menyeragamkan, karena secara kekaryaan dari setiap senimannya sudah memiliki keanekaragaman teknis dan gagasan. Warna ‘hitam-putih’ sangatlah menarik untuk dikaji lebih dalam, menyajikan realitas yang penuh warna dan keseharian yang multiwarna dengan perspektif ‘hitam-putih’ bukanlah perkara mudah,” papar ketua SDI Agus Putu Suyadnya.
Perkembangan seni lukis hitam-putih di Bali bermula pada awal abad ke-20 saat muncul fenomena menarik di Batuan, yakni adanya ekspresi-ekspresi seni lukis yang genial dari puluhan pelukis remaja/muda yang memunculkan gelombang seni lukis hitam-putih (tanpa warna), dengan pilihan tema bicara tentang dunia magis, mistik dan mitologi.
Kelahiran seni lukis hitam-putih di Bali saat itu merupakan respon dari penelitian antropolog Margaret Mead dan Gregory Bateson dalam meneliti psikologi orang Bali melalui ekspresi seni lukis remaja/pemuda Batuan. Para remaja/pemuda itu diberi kertas gambar secara cuma-cuma, kemudian mereka melukis dengan bebas, lahirlah kemudian seni lukis ‘surealistik’ itu.
Seni lukis gaya Ubud-Batuan sendiri mulai awal abad ke-20 berkembang dalam dua pola perkembangan, yakni yang dipengaruhi gaya Pita Maha di Ubud, dan yang lahir dari pola interaksi dengan antropolog Mead dan Bateson yang melahirkan stilistik dan pola pewarnaan hitam putih.
Secara umum, seni rupa Bali dilandasi oleh akar tradisi serta filosofi Agama Hindu-Bali yang masih kuat dipegang, di antaranya keyakinan pada Rwa Bhineda dan Tri Hita Karana. Rwa Bhineda adalah dualisme atau dua hal yang saling bertentangan namun bertujuan untuk keharmonisan dunia. Filosofi Rwa Bhineda menggambarkan alam semesta beserta isinya tersusun atau terbentuk dari dua hal yang saling berbeda atau bertentangan, namun saling melengkapi untuk keseimbangan dan siklus kehidupan. Dalam filosofi Tionghoa dikenal “Ying-Yang”, pada bidang putih ada titik hitam dan pada bidang hitam ada titik putih yang kurang lebih bermakna sama yakni keseimbangan.
Pada masa prakolonial, seni lukis Bali merupakan bagian dari keperluan ritual keagamaan sehingga perwujudannya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai relijius (Hindu) seperti penggunaan warna merah, hitam, putih, dan kuning keemasan yang dominan. Warna-warna tersebut mencerminkan simbol dari kepercayaan yang hidup di masyarakat Bali. Warna merah melambangkan Dewa Brahma, warna putih merupakan lambang dari Dewa Wisnu, warna hitam adalah lambang Dewa Siwa. Selain penggunaan warna juga hadirnya motif poleng (kotak persegi empat dengan warna hitam-putih) yang melambangkan konsep mandala yang melihat hubungan dan sifat-sifat manusia dengan alam dan penciptanya berkaitan dengan empat arah mata angin.
Sesederhana apapun visual yang ditawarkan, citraan monochrome hitam-putih selalu menampilkan impresi dan kesan kedalaman sebuah karya melalui goresan garis-sapuan kuas yang kuat maupun gradasi hitam-putih. Impresi yang demikian selalu mengajak pengunjung untuk lebih mendekat mencermati detail karya. Dalam bahasa sederhana citraan monochrome hitam-putih adalah gambaran sebuah keintiman.
Mendampingkan hitam-putih dalam relasi yang seimbang
Tujuh drawing series berjudul Wise Moral Massage dalam berbagai ukuran karya I Gusti Nengah Nurata dalam arsiran tinta di atas kertas akan memaksa pengunjung untuk mendekat mencermati pesan-pesan implisit yang disampaikan dalam sebuah detail karya. Ada baiknya Anda menggunakan kaca pembesar untuk melihat detail karya drawing series tersebut.
Baik dalam hal teknis hingga pemilihan obyek-obyek mistis-mitologi dan dunia magis dalam karyanya, drawing series Nengah Nurata menjadi satu-satunya karya bergaya Ubud-Batuan diantara karya seniman-perupa SDI terlibat pameran yang lebih banyak mengeksplor akar tradisi Bali dalam konteks hari ini.
I Made Toris Mahendra yang kerap mengekplorasi perpaduan aneka warna, dalam karya berjudul Redefining Value ‘terpaksa’ berdamai dengan duotone hitam-putih. Melengkapi narasi karya utama dengan obyek peta Indonesia di atas bola mata, Toris menambahkan enam panel tentang amuk massa di beberapa daerah di Indonesia akibat praktik intoleransi yang bersumber dari SARA maupun praktik politik identitas lainnya. Pesan Toris cukup jelas dimana realitas hubungan manusia tidak bisa dipandang dalam dikotomi: hitam-putih, salah-benar.
Dikotomi hanya mendudukkan relasi manusia dalam posisi yang berseberangan serta rawan konflik horisontal bahkan yang berada di zona gradasi abu-abu pun dalam posisi yang berbahaya manakala satu pihak telah menempatkan dirinya di atas tafsir kebenaran yang ‘hanya’ miliknya, dibanding ketika relasi antar manusia dibangun dalam realitas berdampingan, apapun ‘warna’ yang dimilikinya.
Satu karya panel berjudul Berbunga-bunga karya I Nyoman Suyasa dengan obyek dua figur yang berdiri di antara bunga-bunga yang bermekaran. Meskipun hanya dalam citraan monochrome hitam-putih yang terkesan menyalahi kodrat bunga yang beranekaragam warna, Berbunga-bunga seolah menyampaikan pesan ‘katakan dengan bunga’ sebagai bentuk ungkapan cinta dan kebajikan.
Sebagaimana disampaikan Ketua SDI Suyadnya, seniman-perupa muda banyak menawarkan karya eksperimen-eksplorasi ide. Citraan monochrome hitam-putih menjadi tantangan tersendiri bagi seniman-perupa yang terbiasa bergelut dengan beragam warna. Seniman-perupa muda hari ini cukup cerdik membaca suasana ataupun merespon fenomena ke dalam karyanya.
Dalam karya berjudul Pencerahan Pande Gotha Antasena mencoba merekonstruksi nilai-nilai relijius dengan memasukkan unsur dunia atas dan dunia bawah dalam karya lukisan cat minyaknya. Menarik ketika Gotha Antasena mencoba bermain-main dalam karyanya dengan memasukkan potret dirinya.
Wayan Yusa Dirgantara yang kerap membuat karya lukisan ekspresionis dengan kekuatan garis-goresan abstraknya, pada karya berjudul Legacy #2 memasukkan obyek-obyek figuratif dari akar tradisi-mitologi Bali di antara garis-goresan abstraknya pada potongan-potongan kanvas yang disambung-jahit tangan sehingga menjadi sebuah karya yang cukup besar berukuran 210 cm x 280 cm. Dalam citraan hitam-putih dan gradasinya, akankah warisan hanya menjadi kumpulan catatan usang dan ditinggalkan? Sebuah pembacaan yang menarik.
Di atas kanvas berukuran 247 cm x 230 cm, I Made Surya Subratha seolah sedang merayakan ‘perlawanan’ dalam karya berjudul Celebrating a Resistance, sebuah perayaan realitas hubungan manusia dengan lingkungannya. Alih-alih memposisikan penerimaan-penolakan secara diametral, Celebrating a Resistance justru tidak sedang memperbincangkan hitam-putihnya relasi manusia dengan manusia lainnya yang saling berseberangan.
Setelah mengeksplorasi dan mengalihmedia-matrakan beberapa karya sketsa-drawing jajan sarad-nya yang penuh warna dan bentuk dalam presentasi tunggal bertajuk “I Wish to Have This Conversation with You” di Kedai Kebun Forum beberapa waktu lalu, I Made Agus ‘Solar’ Darmika melanjutkan eksperimennya pada 150 potong fotogram untuk menangkap visual obyek tunggal.
Eksperimen Solar membangkitkan salah satu teknologi purba/kuno dalam dunia fotografi dalam karya series The See Things As They Are cukup menarik ketika hari ini teknologi fotografi telah jauh melesat dibanding sepuluh tahun lalu dimana sebuah gawai pintar yang ditanami perangkat lunak-keras fotografi mampu menghadirkan obyek seindah bentuk-warna aslinya dalam waktu sekejap disebarkan kepada publik. Dengan teknik fotogram (photogram) Solar harus melakukan kerumitan demi kerumitan hanya untuk menghasilkan citraan monochrome hitam-putih. Di sinilah kejelian Solar mampu membahasakan eksperimen dalam karyanya.
“Kepekatan warna hitam-putih hasil cetakan tergantung solid atau tidaknya obyek, lama penyinaran, dan kekuatan penyinaran. Semakin lama terkena sinar akan semakin hitam. Rata-rata penyinaran setiap fotogram dalam rentang waktu 2-3 detik,” jelas Solar kepada satuharapan.com saat pembukaan pameran, Minggu (15/12) malam.
Bisa jadi Solar tidak terlalu menguasai fotografi dari sisi teknisnya, namun dalam The See Things As They Are karya foto sebagai sebuah karya seni tidaklah melulu memperbincangkan tentang teknik. Menghadirkan kembali teknologi purba fotografi photogram hari ini dengan sentuhan disiplin seni rupa lainnya sesungguhnya menjadi upaya menghadirkan praktik seni foto dalam ulang-alik waktu. Sebuah eksperimen yang cukup berisiko dan Solar cukup berhasil memberikan tawaran dialektika yang dibangun dalam karya series-nya.
Pameran seni rupa bertajuk “Samasta” di Sangkring art project dan Bale Banjar Sangkring Jalan Nitiprayan No. 88 Ngestiharjo, Kasihan, Bantul berlangsung hingga 22 Januari 2020.
Tentara Suriah Menyerah, Tinggalkan Rezim Assad sebagai Imba...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Ratusan mantan tentara Suriah pada hari Sabtu (21/12) melapor kepada pengu...