Patriark Maronit: Tanpa Pemerintah, Lebanon Menghadapi Banyak Bahaya
BEIRUT, SATUHARAPAN.COM-Patriark Gereja Maronit Lebanon mengatakan bahwa negara Lebanon menghadapi "banyak bahaya" yang akan sulit bertahan tanpa pemerintah. Dia berbicara hari Minggu (27/9) setelah perdana menteri yang ditunjuk menyatakan mundur menyusul tawarannya yang gagal untuk membentuk kabinet.
Mustapha Adib mengundurkan diri pada hari Sabtu (26/90 setelah mengalami hambatan tentang bagaimana membuat komitmen dalam sistem sektarian. Ini juga pukulan bagi inisiatif Prancis yang bertujuan untuk membawa negara itu keluar dari krisis ekonomi terdalamnya sejak perang saudara 1975-1990.
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, telah menekan politisi Lebanon yang terpecah-pecah untuk mencapai konsensus sehingga Adib diangkat pada 31 Agustus.
Patriark Gereja Maronit, Bechara Boutros Al-Rai, pemimpin komunitas Kristen terbesar Lebanon, mengatakan bahwa pengunduran diri Adib telah "mengecewakan warga, terutama kaum muda, yang bertaruh pada awal perubahan di kalangan kelas politik."
Banyak politisi papan atas, baik Kristen maupun Muslim, telah berkuasa selama bertahun-tahun atau bahkan beberapa dekade. Beberapa adalah mantan panglima perang.
Al-Rai mengatakan Lebanon sekarang harus melewati "berbagai bahaya" tanpa pemerintah sebagai pengawas.
Komentar yang dikeluarkan patriark bergema di jalan-jalan Beirut, di mana protes massal meletus pada tahun 2019 ketika salah urus selama bertahun-tahun, korupsi, dan utang yang meningkat akhirnya menyebabkan keruntuhan ekonomi, melumpuhkan bank, dan membuat mata uang jatuh bebas.
“Perlu ada perubahan mendasar. Kami membutuhkan orang baru. Kami butuh darah baru,” kata Hassan Amer, 24 tahun, menyajikan kopi dari kafe pinggir jalan di ibu kota, yang terkena ledakan besar di pelabuhan pada 4 Agustus yang menewaskan hampir 200 orang.
Di jalan-jalan terdekat, dinding masih ditempeli grafiti dari protes, termasuk seruan populer untuk menyingkirkan penguasa lama: "Semuanya berarti semuanya."
Upaya pembentukan kabinet tersandung setelah dua kelompok utama Syiah Lebanon, Amal dan Hizbullah yang didukung Iran. Mereka menuntut untuk menunjuk beberapa menteri, termasuk menteri keuangan, peran kunci saat negara menyusun rencana penyelamatan.
Saad Hariri, mantan perdana menteri dan politisi Sunni terkemuka, mengatakan dalam sebuah pernyataan dia tidak akan terlibat dalam penunjukan perdana menteri baru dan mengatakan rencana Prancis adalah "kesempatan terakhir dan satu-satunya untuk menghentikan keruntuhan Lebanon".
Peta jalan Prancis menetapkan program reformasi bagi pemerintahan baru untuk membantu memicu miliaran dolar bantuan internasional. (Reuters)
Editor : Sabar Subekti
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...