Paus: Gereja Harus Akhiri Obsesi Atas Gay, Kontrasepsi, Aborsi
VATIKAN, SATUHARAPAN.COM - Paus Fransiskus menegaskan Gereja Katolik harus mengakhiri obsesi mengenai ajaran tentang aborsi, kontrasepsi, dan homoseksualitas. Gereja agar menjadi lebih pemaaf, atau menghadapi risiko kejatuhan seluruh struktur moral.
Dalam wawancara yang sangat terus terang dengan sebuah jurnal Jesuit Italia, Paus, seperti bisa dibaca di VOA, mengatakan Gereja selama ini telah “mengunci diri dalam hal-hal kecil, dalam aturan-aturan yang berpikiran sempit”. Gereja seharusnya tidak terlalu mudah menghakimi.
Para pendeta seharusnya lebih menyambut dengan tangan terbuka, bukannya menjadi birokrat-birokrat yang dingin dan dogmatis. Ruang pengakuan, seperti dikemukakannya, “bukanlah kamar penyiksaan, tetapi tempat di mana ampunan Tuhan memotivasi kita untuk berlaku lebih baik.”
Komentar Paus disambut baik oleh umat Katolik yang berpandangan liberal. Namun, komentar itu kemungkinan akan dilihat penuh keprihatinan oleh kelompok konservatif, yang sudah memperlihatkan kekhawatiran atas kegagalan Paus dalam menanggapi secara publik isu-isu yang disoroti pendahulunya, Paus Benediktus.
Paus Fransiskus I, paus non-Eropa pertama dalam 1.300 tahun, paus pertama dari Amerika Latin, dan paus Jesuit pertama, tidak memperlihatkan akan mengubah ajaran-ajaran moral itu segera. Namun, dalam wawancara sepanjang 1.200 kata dengan Civilta Cattolica, ia mengatakan Gereja harus mencari keseimbangan baru antara menegakkan aturan dan memperlihatkan pengampunan. “Jika tidak, bahkan struktur moral Gereja akan jatuh seperti barisan kartu,” ujarnya.
Dalam wawancara dengan direktur majalah tersebut, Pastor Jesuit Antonio Spadaro, ia juga mengatakan ingin melihat perempuan punya peran lebih besar dalam Gereja yang berumat 1,2 miliar orang itu. Namun, ia mengatakan hal itu tidak termasuk perubahan dalam larangan saat ini mengenai pendeta perempuan. “Kita harus bekerja lebih keras untuk mengembangkan teologi yang besar mengenai perempuan. Hanya dengan mengambil langkah ini kita dapat merefleksikan fungsi mereka dalam Gereja dengan lebih baik. Jenius feminin dibutuhkan kapan saja kita membuat keputusan yang penting,” ujarnya.
Luka Sosial
Berbeda dari pendahulunya yang menyebut homoseksualitas merupakan gangguan intrinsik, Paus mengatakan Gereja tidak berkeinginan menghujat orang-orang homoseksual, yang merasa “terluka secara sosial” karena dihujat Gereja.
Dalam wawancara yang dirilis Kamis (19/9), ia menambahkan, “Agama memiliki hak untuk mengekspresikan pendapatnya dalam melayani umat, namun Tuhan dalam penciptaan-Nya telah membebaskan kita. Mustahil mencampuri kehidupan seseorang secara spiritual.”
Gereja, ia menambahkan, harus melihat dirinya sebagai “rumah sakit setelah pertempuran” dan mencoba mengobati luka-luka masyarakat yang lebih besar, serta tidak “terobsesi dengan transmisi yang banyak terputus-putus dari doktrin-doktrin yang diberlakukan secara keras”. (Reuters/Philip Pullella)
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...