PBB: Kebijakan Maksimal Dua Anak bagi Muslim Rohingya Melanggar HAM
YANGON, SATUHARAPAN.COM - Ahli Independen Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada (31/5) mendesak Pemerintah Myanmar untuk merespon kebijakan lokal di Rakhine yang membatasi warganya hanya dapat memiliki dua anak merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Demikian diungkap dalam situs resmi PBB.
Tomas Ojea Quintana, pelapor khusus kondisi terkini perkembangan Hak Asasi Manusia di Myanmar menekankan bahwa pemerintah Myanmar memiliki kewajiban untuk mencabut semua peraturan yang melanggar standar Hak Asasi Manusia Internasional.
“Peraturan Khusus Lokal ini hanyalah salah satu dari sekian banyak peraturan aneh yang dikenalkan oleh otoritas negara bagian Rakhine, yang melanggar hak asasi manusia Muslim Rohingya, yakni menyangkut kebebasan bergerak, pernikahan dan pendaftaran bayi yang baru lahir” ujar Tomas, “Perintah ini memberi bekal lebih bagi pemerintah daerah, termasuk perbatasan dengan Nasaka, yang mendiskriminasi dan menganiaya kelompok paling rentan di Myanmar” tambahnya.
Ojea Quintana mencatat bahwa sebagian besar dari kira-kira 800.000 Muslim Rohingya yang tanpa kewarganegaraan membuat mereka rentan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia.
“Peraturan lokal ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia karena menargetkan kelompok etnis dan agama tertentu,” ujarnya “Pemerintah Pusat harus cepat merespons”
Myanmar telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dimana setiap propinsi dari negara tersebut untuk melindungi dan menghormati hak perempuan dan laki-laki, “untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab atas jumlah dan jarak kelahiran anak, ketersediaan akses ke informasi, pendidikan dan sarana sehingga memungkinkan mereka untuk melaksanakan hak-hak tersebut”
Komite PBB tentang Hak Anak meminta pemerintah untuk tidak membatasi jumlah anak Rohingya.
“Ini merupakan tugas berat dari negara untuk memberi informasi kepada publik tentang keluarga berencana dan menyediakan alat kontrasepsi dan layanan kesehatan untuk wanita dan pria di seluruh Myanmar” ujar Quintana.
“Ini bukan peran negara untuk adanya langkah-langkah diskriminatif seperti ini” pungkasnya.
Pelapor Khusus ini juga menyebutkan bahwa diskriminasi yang diterima Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine merupakan salah satu penyebab kekerasan yang umum di negara tersebut mulai setahun silam, akibatnya kekerasan yang mengatasnamakan “anti-Muslim” terjadi di seluruh negeri.
“Hanya dengan mengatasi diskriminasi terhadap agama minoritas dan etnis maka pemerintah Myanmar dapat berharap menciptakan masyarakat terpadu yang hidup bersama dalam kesetaraan, perdamaian, dan harmoni” tegas Quintana.
Ahli independen, atau pelapor khusus, adalah ahli yang ditunjuk oleh Dewan HAM PBB yang berbasis di Jenewa untuk memeriksa dan melaporkan kembali tentang situasi negara atau tema Hak Asasi Manusia tertentu.
Editor : Yan Chrisna
Israel Pada Prinsipnya Setuju Gencatan Senjata dengan Hizbul...
YERUSALEM, SATUHARAPAN.COM-Siaran media Kan melaporkan bahwa Israel pada prinsipnya telah menyetujui...