PBB: Kejahatan Perang Mungkin Telah Terjadi di Ethiopia
ADIS ABABA, SATUHARAPAN.COM-Pertempuran antara pasukan pemerintah Ethiopia dan para pemimpin pemberontak utara di Tigray dapat lepas kendali dan kejahatan perang mungkin telah dilakukan, kata Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada hari Jumat (13/11), ketika dampaknya menyebar hingga Tanduk Afrika yang bergejolak.
Konflik 10 hari di wilayah Tigray telah menewaskan ratusan orang, mengirim pengungsi yang membanjiri Sudan, dan menimbulkan kekhawatiran menarik konflik di Eritrea atau melemahkan komitmen Ethiopia untuk pasukan Afrika dalam menghadapi militan terkait Al Qaeda di Somalia.
Itu juga dapat mencoreng reputasi Perdana Menteri Ethiopia, Abiy Ahmed, yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian untuk pakta perdamaian 2018 dengan Eritrea, dan dipuji karena membuka ekonomi Ethiopia dan melonggarkan sistem politik yang represif.
"Ada risiko situasi ini akan benar-benar di luar kendali," kepala hak asasi PBB, Michelle Bachelet. Dia mengatakan pembantaian warga sipil yang dilaporkan oleh Amnesty International akan menjadi kejahatan perang jika dikonfirmasi sebagai dilakukan oleh salah satu pihak dalam konflik.
Abiy menuduh Tigray People's Liberation Front (TPLF), yang menguasai wilayah pegunungan berpenduduk lebih dari lima juta orang, melakukan pengkhianatan dan terorisme.
Saling Tuduh Pemerintah dan TPLF
Pasukan federal mengatakan TPLF bangkit melawan mereka pekan lalu, tetapi sejak itu mereka selamat dari pengepungan dan merebut kembali wilayah barat. Dengan terputusnya komunikasi dan larangan media, belum ada konfirmasi independen tentang keadaan pertempuran tersebut.
TPLF mengatakan pemerintah Abiy telah menganiaya Tigrayans dan membersihkan mereka dari jabatannya sejak dia menjabat pada April 2018 setelah pemerintah yang dipimpin TPLF. Mereka menyebut ofensif sebagai "invasi".
Pasukan federal telah melakukan serangan udara dan telah terjadi pertempuran di darat sejak Rabu pekan lalu. Para pengungsi menggambarkan pemboman oleh jet pemerintah, penembakan di jalanan, pembunuhan dengan parang dan kematian warga sipil.
"Pengeboman itu telah menghancurkan gedung-gedung dan menewaskan orang, dan saya melarikan diri, sebagian berjalan dengan berjalan kaki dan sebagian lagi di dalam mobil," kata Hayali Kassi, 33 tahun, seorang pengemudi dari Tigray yang mencapai kota perbatasan Al-Fashqa di Sudan, yang sekarang menampung lebih dari 7.000 pengungsi.
Abiy, yang berasal dari kelompok etnis terbesar di Ethiopia, Oromo. Dia mengatakan parlemen menunjuk mantan akademisi universitas Addis Ababa dan wakil menteri untuk sains dan pendidikan tinggi, Mulu Nega, 52 tahun, sebagai pemimpin baru negara bagian Tigray.
Tidak ada tanggapan segera atas penunjukan Mulu dari pemimpin Tigray saat ini, Debretsion Gebremichael, yang memenangkan pemilihan lokal pada September lalu, meskipun pemerintah pusat memerintahkan untuk membatalkannya. Mulu dalam disertasny yang disebutkan di situs Twente University di Belanda, tempat ia memperoleh gelar doktor, menyatakan tempat kelahirannya sebagai Tigray. (un.org / Reuters)
Editor : Sabar Subekti
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...