PBB: Krisis Pangan Global, 700 Juta Orang Tak Tahu Apakah Mereka Akan Makan Lagi
PBB, SATUHARAPAN.COM- Krisis kelaparan global telah menyebabkan lebih dari 700 juta orang tidak mengetahui kapan atau apakah mereka akan makan lagi, dan permintaan akan makanan meningkat tanpa henti sementara dana kemanusiaan mengering, kata kepala badan pangan PBB, hari Kamis (14/9).
Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia (WFP), Cindy McCain, mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa karena kurangnya dana, badan tersebut terpaksa memotong jatah makanan untuk jutaan orang, dan “pengurangan lebih lanjut akan terus dilakukan.”
“Kita sekarang hidup dengan serangkaian krisis yang terjadi secara bersamaan dan berjangka panjang yang akan terus meningkatkan kebutuhan kemanusiaan global,” katanya. “Ini adalah realitas baru yang dihadapi komunitas kemanusiaan, kondisi normal baru kita, dan kita akan menghadapi dampak buruknya di tahun-tahun mendatang.”
45 Juta Anak Alami Malnutrisi Akut
Ketua WFP, janda mendiang senator Amerika Serikat, John McCain, mengatakan badan tersebut memperkirakan bahwa hampir 47 juta orang di lebih dari 50 negara hanya selangkah lagi menuju kelaparan, dan 45 juta anak di bawah usia lima tahun kini diperkirakan menderita malnutrisi akut.
Menurut perkiraan WFP dari 79 negara tempat lembaga yang berbasis di Roma ini beroperasi, hingga 783 juta orang, atau satu dari 10 populasi dunia, masih tidur dalam keadaan lapar setiap malam. Lebih dari 345 juta orang menghadapi kerawanan pangan tingkat tinggi tahun ini, peningkatan hampir 200 juta orang dari awal tahun 2021 sebelum pandemi COVID-19, kata badan tersebut.
Menurut WFP, akar dari melonjaknya jumlah ini adalah “kombinasi mematikan antara konflik, guncangan ekonomi, perubahan iklim ekstrem, dan melonjaknya harga pupuk.”
Dampak ekonomi dari pandemi ini dan perang di Ukraina telah mendorong harga pangan tidak terjangkau oleh jutaan orang di seluruh dunia. Pada saat yang sama, tingginya harga pupuk telah menyebabkan turunnya produksi jagung, beras, kedelai, dan gandum, kata badan tersebut.
Tantangan pada Sektor Swasta
“Tantangan kolektif kita adalah meningkatkan kemitraan multi sektoral yang ambisius yang akan memungkinkan kita mengatasi kelaparan dan kemiskinan secara efektif, dan mengurangi kebutuhan kemanusiaan dalam jangka panjang,” desak McCain kepada para pemimpin bisnis pada pertemuan dewan yang berfokus pada isu kemanusiaan dengan kemitraan swasta.
Tujuannya bukan hanya sekadar pendanaan, namun juga menemukan solusi inovatif untuk membantu kelompok yang paling membutuhkan di dunia.
Michael Miebach, CEO Mastercard, mengatakan kepada dewan tersebut bahwa “bantuan kemanusiaan telah lama menjadi tanggung jawab pemerintah” dan lembaga pembangunan, dan sektor swasta dipandang sebagai sumber sumbangan finansial untuk pasokan.
“Uang tetap penting, tapi perusahaan bisa menawarkan lebih banyak lagi,” katanya. “Sektor swasta siap mengatasi tantangan yang ada melalui kemitraan dengan sektor publik.”
Miebach menekankan bahwa “bisnis tidak dapat berhasil di dunia yang sedang gagal” dan krisis kemanusiaan berdampak pada sesama warga dunia. Sebuah bisnis dapat menggunakan keahliannya, katanya, untuk memperkuat infrastruktur, “menginovasi pendekatan baru dan memberikan solusi dalam skala besar” untuk meningkatkan operasi kemanusiaan.
Jared Cohen, presiden urusan global di Goldman Sachs, mengatakan kepada dewan bahwa pendapatan banyak perusahaan multinasional menyaingi PDB beberapa negara Kelompok 20 (G-20) dengan perekonomian terbesar. Dan dia mengatakan lima perusahaan Amerika dan banyak perusahaan global mempunyai lebih dari 500.000 pekerja, lebih banyak dari populasi 20 negara anggota PBB.
“Perusahaan global saat ini memiliki tanggung jawab terhadap pemegang saham, klien, staf, komunitas, dan tatanan internasional berbasis aturan yang memungkinkan kami melakukan bisnis,” katanya.
Cohen mengatakan dunia usaha dapat memenuhi tanggung jawab tersebut selama krisis terlebih dahulu dengan tidak berusaha “menemukan kembali roda setiap saat,” namun dengan memanfaatkan memori institusional dan bermitra dengan perusahaan lain dan sektor publik.
Ia mengatakan dunia usaha juga perlu “bertindak cepat dan berinovasi secara real time,” menggunakan koneksi lokal, dan membawa keahlian mereka ke bidang kemanusiaan.
Lana Nusseibeh, Duta Besar Uni Emirat Arab, mengatakan PBB mengajukan permohonan dana sebesar lebih dari US$54 miliar pada tahun ini, “dan hingga saat ini, 80% dari dana tersebut masih belum terpenuhi,” yang menunjukkan bahwa “kita sedang menghadapi sistem yang berada dalam krisis.”
Dia mengatakan kemitraan publik-swasta yang dulunya merupakan tambahan yang berguna, kini menjadi penting bagi pekerjaan kemanusiaan.
Selama dekade terakhir, kata Nusseibeh, UEA telah mengembangkan “platform digital untuk mendukung kemampuan pemerintah dalam memanfaatkan dukungan internasional dengan lebih baik setelah terjadinya bencana alam.” UEA juga telah mendirikan pusat logistik kemanusiaan yang besar dan bekerja sama dengan badan-badan PBB dan perusahaan swasta dalam mengembangkan teknologi baru untuk menjangkau mereka yang membutuhkan, katanya.
Duta Besar Amerika Serikat, Linda Thomas-Greenfield, mengatakan kesenjangan pendanaan telah menempatkan masyarakat paling rentan di dunia “dalam momen yang sangat berbahaya.”
Dia mengatakan perusahaan-perusahaan telah mengambil tindakan, termasuk di Haiti dan Ukraina dan membantu para pengungsi di Amerika Serikat, namun sudah terlalu lama, “kita telah beralih ke sektor swasta secara eksklusif untuk mendapatkan pendanaan.”
Dunia usaha telah menunjukkan “kemurahan hati yang luar biasa, namun pada tahun 2023 kita tahu bahwa mereka memiliki lebih banyak hal untuk ditawarkan. Kapasitas, pengetahuan, dan inovasi mereka sangat dibutuhkan,” kata Thomas-Greenfield. “Sektor publik harus memanfaatkan keahlian sektor swasta dan menerjemahkannya ke dalam tindakan.” (AP)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...