PBB Menyerukan Pihak Yang Berkonflik Tidak Serangan Sekolah
Ribuan sekolah, terutama di Sahel Afrika, rusak dan ditutup karena serangan dan konflik.
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Dewan Keamanan PBB mendesak pihak-pihak yang bertikai dalam semua konflik untuk segera berhenti menyerang sekolah dan guru, dan menegaskan kembali seruan Sekretaris Jenderal Antonio Guterres untuk gencatan senjata global untuk mengatasi pandemi COVID-19.
Pernyataan presiden yang disetujui oleh semua 15 anggota DK PBB menyatakan "keprihatinan besar tentang peningkatan signifikan serangan terhadap sekolah dalam beberapa tahun terakhir dan mengakibatkan jumlah yang mengkhawatirkan dari anak-anak yang ditolak akses ke pendidikan berkualitas."
Utusan PBB untuk anak-anak, Virginia Gamba, mengatakan kepada Dewan bahwa menyerang sekolah dan guru tampaknya menjadi taktik perang, terutama di wilayah Sahel Afrika, dan pandemi COVID-19 telah memperburuk keadaan.
Ribuan Sekolah Ditutup
Gamba mengatakan bahwa di Sahel, "sekolah menjadi sasaran justru karena itu adalah sekolah, dan terlebih lagi jika mereka melayani anak perempuan."
Di Mali, misalnya, dia mengatakan bahwa dalam dua tahun terakhir para guru diancam dan dibunuh, fasilitas pendidikan dibongkar, dan materi pembelajaran dibakar, yang menyebabkan penutupan lebih dari 1.260 sekolah, bahkan sebelum COVID-19.
Dalam 12 bulan terakhir di Burkina Faso telah terjadi peningkatan serangan, termasuk pembakaran sekolah dan penculikan guru, memaksa 2.500 sekolah ditutup dan mencabut ratusan ribu anak dari pendidikan, kata Gamba.
Di tempat lain di dunia, terutama di Asia dan Amerika Latin, dia berkata, "kami juga melihat peningkatan serangan terhadap pendidikan di komunitas adat."
COVID-19 Memperburuk Siruasi
Dia mengatakan pandemi COVID-19 telah memperburuk keadaan karena sekolah yang ditutup dan ekonomi yang runtuh mendukung perekrutan dan penggunaan tentara anak, eksploitasi seksual anak, dan pernikahan anak, dan penggunaan sekolah kosong untuk tujuan militer.
Pernyataan DK PBB yang disponsori oleh Niger, menegaskan kembali seruan Gamba "untuk melestarikan dan menghormati karakter sipil sekolah, sebagaimana diperlukan untuk melindungi anak-anak dalam konflik bersenjata".
Ia juga mengakui “dampak negatif yang tidak proporsional dari pandemi COVID-19,” terutama dampak ekonomi dan dampak buruknya pada anak-anak yang berkonflik dan menjalani reintegrasi ke dalam masyarakat.
Satu Miliar Anak Terdampak
Henrietta Fore, kepala UNICEF, menyambut baik pernyataan tersebut, yang mengatakan "melindungi sekolah dari serangan, dan menyediakan pendidikan di tengah keadaan darurat, lebih dari sekadar kebutuhan kemanusiaan."
“Ini adalah kewajiban moral bagi anak-anak dan komunitas,” katanya. Tetapi “jelas merupakan kewajiban moral yang gagal kita penuhi” karena jutaan anak tidak mengenyam pendidikan.
“COVID-19 telah mengganggu pembelajaran bagi lebih dari satu miliar anak di seluruh dunia,” kata Fore. “Pada saat yang sama, kita harus mengingat mereka yang tidak memiliki pendidikan, termasuk banyak dari 75 juta anak yang tinggal di negara-negara dengan konflik.”
Editor : Sabar Subekti
Beberapa Negara Asia Akan Peringati 20 Tahun Tsunami Samudra...
JAKARTA, SATUHARAPN.COM-Negara-negara yang dilanda tsunami minggu depan akan mengenang lebih dari 22...