PDB Tiongkok Terendah dalam 24 Tahun, RI Harus Waspada
BEIJING, SATUHARAPAN.COM – Biro Statistik Nasional Tiongkok (NBS) hari ini mengumumkan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) negara itu sepanjang 2014 sebesar 7,4 persen pada 2014, angka terendah dalam 24 tahun terakhir. Tahun lalu ekonomi Tiongkok tumbuh 7,7 persen.
Meskipun lebih rendah, angka ini lebih tinggi dari median perkiraan 15 ekonom yang disurvei oleh AFP, yaitu 7,3 persen.
"Perekonomian Tiongkok telah mencapai kemajuan yang stabil dengan peningkatan kualitas di bawah normal baru pada 2014," kata NBS dalam sebuah pernyataan.
"Namun kami juga harus menyadari bahwa situasi domestik dan internasional masih rumit dan pembangunan ekonomi menghadapi kesulitan dan tantangan."
Angka 7,3 persen ini merupakan pertumbuhan tahunan terburuk dalam dua dekade terakhir meskipun Tiongkok juga pernah mencatat angka pertumbuhan 3,8 persen pada 1990.
Melemahnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok disebabkan oleh masalah-masalah pelemahan sektor manufaktur dan perdagangan serta penurunan harga untuk real estat di dalam negeri.
Sebenarnya, pemerintah Tiongkok telah menetapkan target ekspansi resmi sekitar 7,5 persen untuk tahun 2014. Target tersebut sebagaimana biasanya, dipatok pada tingkat yang mudah dicapai. Sayangnya, angka itu pun tidak tercapai. Hasil 2014 ini merupakan kegagalan pertama Tiongkok mencapai target sejak 1998.
Indonesia Kena Getahnya
Dampak melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok terhadap perekonomian Indonesia tidak bisa dianggap enteng. Sebab, dengan demikian pasar domestik Tiongkok tidak lagi seatraktif seelumnya. "Tentu mereka akan upayakan tambahan dari pasar lain. ASEAN, khususnya Indonesia, sebagai pasar terbesar, akan menjadi alternatif yang menarik," kata Roy Sembel, Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Kristen Indonesia dan Ketua Institut Pengembangan Manajemen Indonesia (IPMI), dalam percakapan dengan satuharapan.com, hari ini (20/1).
"Kita harus waspada, agar barang impor ilegal bisa dicegah," tegas dia.
Dalam 13 tahun terakhir, seperti dilansir oleh Katadata, hubungan dagang Indonesia dan Tiongkok mengalami perkembangan pesat. Di satu sisi Tiongkok melesat menjadi negara pemasok barang impor terbesar ke Indonesia mengalahkan Jepang. Di sisi lain, negara itu juga menjadi tempat bergantungnya pasaran ekspor Indonesia karena Tiongkok telah menjelma jadi pasar utama ekspor Indonesia.
Pada 2013, pertumbuhan ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai 7,2 persen menjadi US$ 22,60 miliar dibandingkan pada tahun 2000 senilai US$ 2,77 miliar. Sebaliknya, jika pada tahun 2000 Tiongkok baru berada di posisi ke-5 sebagai negara eksportir ke Indonesia senilai US$ 2,02 miliar, pada tahun 2013 melesat menjadi eksportir nomor satu dengan nilai ekspor US$ 29,85 miliar. Rata-rata pertumbuhannya tiap tahun sebesar 23 persen.
Posisi Tiongkok tersebut melampaui Jepang yang sebelumnya menjadi pemasok utama barang impor ke Indonesia. Pada tahun 2000, Jepang menempati posisi pertama senilai US$ 5,40 miliar. Namun pada 2013, posisinya turun ke peringkat ke-3 senilai US$ 19,28 miliar di bawah Tiongkok dan Singapura.
Ironisnya, jika pada tahun 2000, nilai perdagangan Indonesia masih mengalami surplus terhadap Tiongkok yakni sebesar US$ 745,74 juta, pada 2013 neraca perdagangan Indonesia dengan Tiongkok sudah mencatat defisit US$ 7,25 miliar.
Dengan melemahnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok, diperkirakan ekspor Indonesia ke negara itu juga akan melambat. Di sisi lain, impor produk dari negara itu justru dikhawatirkan bertambah sebagai upaya negara itu menutupi menurunnya ekspor ke pasar Eropa. Apabila ini terjadi defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Tiongkok bertambah lebar.
Berdampak Serius bagi Seluruh Dunia
Pemerintah Tiongkok menganggap pelemahan pertumbuhan ini merupakan tahap kembalinya negara itu ke jalur pertumbuhan normal, setelah sebelumnya tumbuh pesat nyaris mencapai dua digit. Namun, implikasinya dapat lebih luas. Misalnya, Australia terpaksa merevisi anggaran belanjanya karena menurunnya pendapatan dari ekspor ke Tiongkok. Demikian juga tambang tembaga Chili, yang pendapatannya sangat tergantung pada pertumbuhan ekonomi Tiongkok.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok ini juga datang pada waktu yang tidak tepat, yaitu ketika perekonomian dunia masih rentan. Zona euro berada pada risiko resesi ketiga dalam enam tahun. Sementara kebijakan Abenomics telah gagal mengangkat Jepang keluar dari stagnasi.
Di sisi lain, perekonomian di negara-negara emerging market juga tumbuh lebih lambat dari yang diperkirakan, padahal dorongan untuk pertumbuhan global pada satu dekade terakhir ini banyak datang dari negara-negara tersebut.
The Wall Street Journal melaporkan, para ekonom melihat perlambatan ekonomi di Tiongkok pada 2014 baru awal dari sebuah perlambatan pertumbuhan yang lebih lama. Dana Moneter Internasional kemarin memperkirakan pertumbuhan ekonomi Tiongkok hanya akan berada di 6,8 persen pada tahun 2015, di bawah angka 7 persen yang diperkirakan akan merupakan target Pemerintah Tiongkok.
Sejumlah kolumnis seperti Alex Frangos, Abheek Bhattacharya dan Aaron memandang bahwa tantangan ekonomi Tiongkok semakin berat. "Pertumbuhan sektor perumahan yang melambat semakin serius dari yang kami pikirkan sebelumnya," kata Kepala Ekonom IMF Olivier Blanchard dalam sebuah wawancara.
Pakar lainnya malah melihat kesuraman yang lebih besar. Oxford Economics memperkirakan pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun ini hanya 6,5%. Mereka bahkan memperkirakan ini menjadi yang terakhir kalinya pertumbuhan Tiongkok melebihi 6 persen.
Perlambatan pertumbuhan di Tiongkok menjadi faktor pertimbangan IMF untuk memangkas estimasi pertumbuhan global. Dana Moneter Internasional memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2015, dari 3,8 persen menjadi 3,5 persen. Untuk 2016, lembaga donor ini meramalkan pertumbuhan ekonomi 3,7 persen.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...