Pdt Rudy: Ibadah di Seberang Istana, Persoalan Kemanusiaan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pendeta Rudy Rahabeat berpendapat bahwa ada persoalan bangsa Indonesia yang lebih besar yakni tentang kemanusiaan, sebuah persoalan dimana bangsa dan umat beragama menyadari perlunya pembebasan yang berasal dari Tuhan.
Ibadah perjuangan yang di seberang Istana oleh jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia bukan hanya persoalan HKBP, GKI atau persoalan gereja, tetapi persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia tentang arti keindonesaan dan persoalan kemanusiaan yang tanpa diskriminasi.
Berikut adalah ringkasan khotbah yang disampaikan oleh Pendeta Rudy R dari Gereja Protestan Maluku (GPM) dalam ibadah seberang Istana Merdeka Jakarta, bersama jemaat GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi, Minggu (3/8):
Via Dolorosa, Jalan Mengenal Kebenaran Sejati
Saya memiliki pengalaman yang sangat berbeda pada hari minggu ini (3/8), ketika pada pagi hari saya beribadah di sebuah gereja di daerah Pasar Minggu, dalam ruangan ibadah yang besar dan nyaman. Namun ketika saya beribadah di ruang terbuka di seberang istana presiden, bersama jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia, semua seakan berubah total, 180 derajat. Ketika saya datang dan melihat cuaca yang mendung, saya berpikir akan hujan, saya yakin Tuhan itu baik karena kita tetap bisa beribadah.
Dalam ibadah itu pagi tadi, di ibadah di gedung gereja, saya mendengar doa yang panjang, doa yang bahkan sampai ke Palestina, sampai ke Irak, Suriah dan lain sebagainya. Tetapi saya tidak mendengar doa tentang jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia yang sedang berjuang di depan Istana Presiden, saya tidak mendengar, saya tidak tahu, apakah mereka lupa, atau mereka merasa Tuhan toh sudah tahu. Itulah yang saya dengar di sebuah gereja.
Saya yakinkan masih banyak orang yang berdoa untuk masalah yang saudara hadapi, masih banyak orang yang juga solider dan peduli dengan saudara-saudara jemaat yang beribadah disini. Kita tidak perlu kuatir, kita tidak perlu kecewa, karena memang jalan kita pilih adalah jalan via dolorosa.
Tetapi apakah semua kenyamanan, apakah semua kemewahan yang seperti itu yang kita cari? Rasul Paulus bilang, bahwa semua itu kuanggap bukan yang aku cari, Paulus menganggap semua itu dianggap rugi saja. aku seorang Ibrani, aku seorang Farisi, aku seorang cendikiawan, aku seorang yang luar biasa, tetapi dihadapan Kristus aku tidak punya arti apa-apa. Bahkan saya belum mengenal dengan sungguh-sungguh siapakah Yesus Kristus itu, demikian kata Rasul Paulus.
Kita boleh mengetahui banyak hal, tetapi belum tentu kita mengenal dengan mendalam apa yang kita ketahui. Saya sudah tahu tentang HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin, mungkin dua atau tiga tahun yang lalu melalui media, tetapi saya harus mengatakan bahwa saya tentu harus mengatakan saya belum mengenal sampai kedalaman dan pergumulan dan persoalan yang dihadapi saudara saya di Bekasi dan di Bogor.
Ketika hari ini kita belajar tentang mengenal, maka pengenalan yang benar akan kebenaran yang sejati, jalannya ternyata tidak mudah. Pengenalan yang benar tentang Kristus juga tidak mudah dan tidak murah. Namun demikian, berbahagialah kita semua yang sudah melewati jalan-jalan yang terjal untuk mengenal dengan benar siapa Yesus.
Pengharapan hanya pada Tuhan
Surat yang dituliskan oleh Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi adalah ada dalam satu konteks. Rasul Paulus adalah satu konteks, ketika dia menuliskan suratnya dari balik penjara dan dalam keadaan terbelenggu dan tidak dalam kondisi yang menyenangkan, tetapi dia memulai suratnya dengan kalimat aku bersukacita, bahwa Injil tidak bisa dipenjara, bahwa Tuhan lebih berkuasa daripada segala-galanya.
Rasul Paulus menuliskan suratnya kepada jemaat yang dilayani dengan nada yang penuh berpengharapan, "Bersukacitalah, sekali lagi kukatakan bersukacitalah". Apakah saudara kehilangan sukacita ketika beribadah tanpa gedung gereja. Apakah sukacita yang sejati itu? Belajarlah Rasul Paulus yang berkata, "Sebelumnya telah aku anggap rugi, karena pengenalan yang akan Kristus Yesus, Tuhanku."
Itulah inti dari kekuatan dari Rasul Paulus dan gereja Tuhan tidak lain adalah Yesus Kristus itu sendiri. Sebagaimana sebuah lagu pujian, muaranya hanya satu saja, yaitu kepada Yesus yang mengenal kedalaman kedalaman hati kita dan pergumulan kita. Dialah yang sanggung membebaskan kita semua.
Yesus Kristus membebaskan kita dalam banyak hal, bukan saja membebaskan pintu gereja yang terbelenggu, bila tentang hal ini saya kira kita hanya menghitung waktu. Persoalan kita tidak hanya sebatas itu, persoalan kita lebih lebih besar, sehingga ketika kita hadir di ibadah di seberang Istana, ini bukan masalah HKBP Filadelfia saja, ini bukan persoalan GKI saja, atau bahkan hanya persoalan gereja saja, tetapi ini adalah persoalan kemanusiaan. Persoalan kita dan bangsa ini adalah dimana kita menyadari perlunya pembebasan yang berasal dari Tuhan.
Dengan menaruh pengharapan keada Yesus Kristus itulah kita mau duduk disini, berhadapan dengan panas terik di seberang istana Merdeka. Pengharapan bagaikan sauh yang kokoh, ketika kita berlabuh. Ada badai, angin badai dan gelombang, tetapi ketika menaruh kepada Yesus Kristus - sumber pengharapan itu, maka kita tidak akan terbuang jauh dari pengharapan yang sejati.
Jejak hikmat Agama
Dalam sebuah puisi yang berjudul Barat dan Timur (karya Abdul Hadi W.M), di sana ada pembelajaran yang menarik:
Barat dan timur adalah guruku
Muslim, hindu, kristen, Budha,
Pengikut Zen atau Tao
Semua adalah guruku
Kupelajari dari semua orang saleh dan pemberani
Rahasia cinta, rahasia bara menjadi api menyala
Dan tikar sembayang sebagai pelana sebagai arasy-Nya
Ya semua adalah guruku
Ibrahim, Musa, Daud, Lao Tze
Buddha, Zarathustra, Socrates, Isa Almasih
Serta Muhammad Rasulullah
Tapi hanya di masjid aku berkhidmat
Walau jejak-Nya
Kujumpai dimana-mana. - Abdul Hadi W.M.
Saya sepakat dengan penyair Indonesia ini. Saya percaya bahwa sebagai seorang penyair ia telah menembus batas-batas yang seringkali ditabukan. Ia terbuka untuk belajar dari yang lain (the other). Ia tidak merasa takut berjumpa dengan yang lain. Saya kira gereja juga mesti terbuka, berjumpa dengan yang lain. Gereja tidak perlu takut membuka pintu dialog dan pintu persahabatan.
Abdul Hadi M.W, juga benar bahwa keterbukaan dan perjumpaan itu tidak serta merta menisbikan bahkan menghilangkan identitasnya sebagai seorang Muslim. Demikian pula dengan orang Kristen. Kita harus berani melompat (passing over) dan jangan lupa kembali pada identitas kita, yang tentu akan makin diperkaya dalam perjumpaan lintas batas tadi. Kita kembali ke Kristus yang adalah pangkal keselamatan yang sejati, sumber kebenaran yang kita yakini sanggup membebaskan kita dari belenggu apapun.
Ketika mengutip penyair ini, saya teringat Rendra yang pernah berujar bahwa ia TUHAN tidak terkurung di gedung-gedung keagamaan, justru Tuhan ditemukan di gubuk-gubuk reot. Wajah Tuhan nampak pada si tua yang terkapar di pinggir jalan. Wajah Tuhan nampak pada diri anak-anak jalanan yang nyaris mati di jalanan. Tuhan ada bersama orang-orang marginal. Olehnya penginjil Matius ketika berbicara tentang Penghakiman Terakhir, maka ada kutipan Yesus yang sangat penting dan sangat menyentuh di sana yakni “segala sesuatu yang kamu lakukan bagi mereka yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”.
Saya kira keberpihakan Yesus kepada mereka yang hina dina itulah yang harus menjadi keberpihakan gereja. Mereka yang paling hina itu adalah kita semua. Orang-orang berdosa yang sungguh membutuhkan belas kasihan Tuhan. Kehinaan kita bukan saja soal kondisi yang terpuruk dan miskin melarat, tetapi kehinaan kita juga adalah ketika pintu hati kita tidak tergerak untuk menolong sesama yang menderita. Tentu yang saya maksudkan dengan sesama di sini bukan sekedar sesama yang sama agama dan kepercayaan saja. Sesama di sini adalah semua orang apapun latar belakangnya.
Khotbah ini saya pilih dari bacaan surat Filipi 3:8. Kebetulan hari ini tanggal 3 bulan 8. Angka tiga adalah angka yang dasyat. Angka tiga juga mengingatkan kita pada Trinitas, bahkan meningatkan kita pada salam tiga jari, Persatuan Indonesia. Ya, persatuan dalam keragaman. Ini panggilan kita semua. Demikian pula angka delapan yang merujuk pada bulan Agustus, bulan kemerdekaan. Tentu ada secercah harapan agar pada momentum 69 tahun kemerdekaan Indonesia, kita semua benar-benar merdeka. Tidak ada lagi diskriminasi di antara segenap warga bangsa. Tidak ada lagi penutupan rumah-rumah ibadah dan kekerasan terhadap kelompok minoritas.
Semoga dengan momentum kebangsaan ini, kita bangkit bersama mempererat persatuan Indonesia, menegakan kemanusian yang adil dan beradab, menyambut hari esok yang penuh pengharapan. Dan saya kira, kita perlu optimis, sebab itu yang dihendaki Tuhan.
Editor : Bayu Probo
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...