Pegiat HAM: Lindungi LGBT dari Kekerasan dengan Konstitusi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dua pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, Haris Azhar, Koordinator KontraS, dan Wahyudi Djafar, perwakilan Elsam, memberikan pandangannya mengenai isu Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT), hari Rabu (24/2), dalam kegiatan peluncuran Laporan HAM 2015 Amnesty International, di Jakarta.
Keduanya sepakat bahwa negara harus tetap melindungi warganya, terutama perlindungan kepada warga rentan seperti LGBT dari berbagai kekerasan dan ketidakadilan di tengah kehidupan bernegara dengan berdasarkan pada konstitusi negara.
“Sehebat apapun orang di negeri ini, tidak boleh semena-mena terhadap LGBT. Pendekatan terhadap isu ini memang harus dengan pendekatan human, yang artinya, melihat konstitusi, karena ini dapat diberlakukan pada setiap orang,” kata Haris.
Menurutnya, “Ada satu premis besar dalam Rezim HAM Internasional, yaitu, Rezim Pasal 2 yang berarti itu adalah prinsip non-diskriminasi, prinsip fundamental terhadap perlindungan HAM. Tidak bisa setiap orang didiskriminasi karena agamanya, keyakinannya, warna kulitnya, dan orientasinya, termasuk orientasi seksual. Tidak ada satu hal pun yang bisa dipakai untuk membenarkan siapa pun di luar kelompok LGBT untuk melakukan tindakan-tindakan yang mengancam orang-orang yang identik dengan LGBT tersebut. Bagi orang yang menolak LGBT juga silahkan, karena itu juga orientasi.”
Haris memberikan contoh UU terorisme yang sangat ketat, tapi, kata dia, “Soal kekerasan yang ekstrem tidak pernah disentuh dan ditangani dengan serius oleh pemerintah. Padahal, menurut catatan, teroris berawal dan berasal dari kelompok-kelompok kekerasan ekstrem (urban ekstrem).”
“Urban ekstrem bergerak di tengah kehidupan urban untuk mengejar kelompok minoritas dan pada akhirnya naik kelas menjadi teroris. Ketika sudah menjadi teroris, negara baru disibukkan dengan UU terorisme, tapi akarnya tidak pernah disentuh. Akar ini diasporanya tidak hanya akan menjadi teroris, tapi juga menyebarluaskan ekstrimisme-ekstrimisme ke berbagai tempat dan mengejar kelompok minoritas. Saya khawatir ini akan menjadi suatu project,” kata dia.
Menurut Wahyudi, “Semua argument yang dibangun untuk menentang LGBT selalu beragumentasikan pada moralitas dan agama. Dalam konteks bernegara, kita harus kembali pada konstitusi kita. Negara punya kewajiban untuk melindungi seluruh warganya, entah kemudian dia LGBT, atheis, dan atau apapun itu."
Wahyudi berharap akan ada upaya-upaya pemilahan mengenai hal yang menjadi wilayah atau urusan agama dengan hal yang sebaiknya didasarkan pada konstitusi.
“LGBT harus diberikan ruang dan kebebasan untuk mendapatkan perlindungan, harus kembali ke Pancasila dan UUD, jadi sebaiknya bukan lagi melihat agama,” kata Wahyudi.
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...