Amnesty International: Jokowi Belum Penuhi Janji Benahi HAM
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pemerintahannya punya banyak hal yang bisa dilakukan jika ingin memenuhi janji-janjinya untuk memperbaiki situasi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Kami melihat suatu bahaya kemunduran di banyak isu HAM pada tahun 2015,” kata Josef Benedict, Deputi Direktur Kampanye Asia Tenggara Amnesty International, saat meluncurkan Laporan Tahunan HAM Global 2015 Amnesty International, di Jakarta, hari Rabu (24/2).
Menurut Amnesty International, Indonesia terus menghadapi serangkaian pelanggaran HAM, yang mana, pemerintahan Presiden Jokowi gagal untuk mengatasinya, dan di beberapa kasus bahkan terlihat lebih buruk di bawah masa satu tahun jabatannya.
Laporan Tahunan HAM Global 2015 Amnesty International mendokumentasikan serangkaian masalah HAM di Indonesia sepanjang tahun lalu, seperti meningkatnya pengekangan kebebasan berekspresi, pembatasan kebebasan beragama, penggunaaan kekuatan berlebihan, pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan, dan kembalinya hukuman mati.
Kebebasan Berekspresi dan Beragama
Menurut Amnesty International, dibebaskannya aktivis pro-kemerdekaan Papua, Filep Karma, pada bulan November---setelah ia menghabiskan lebih dari satu dekade di dalam penjara, karena ekspresi politik damainya---merupakan sesuatu yang baik. Namun, tidak bisa menutupi pengekangan kebebasan berekspresi yang lebih luas di segala penjuru Indonesia.
Lebih dari 50 tahanan nurani (prisoners of conscience) masih berada di balik jeruji di Papua dan Maluku, sementara penangkapan ratusan aktivis damai di Provinsi Papua dan Papua Barat terjadi sepanjang tahun lalu. “Janji-janji Presiden Jokowi untuk menghapus pembatasan akses jurnalis asing ke Papua belum terpenuhi hingga akhir tahun lalu,” ujar Josef.
Menurutnya, “Pemerintah Indonesia harus berhenti menangkap dan mengkriminalisasi mereka yang berbicara secara damai. Semua tahanan nurani harus segera dan tanpa syarat dibebaskan. Ketentuan hukum yang digunakan untuk memenjarakan mereka harus dicabut.”
Gangguan, intimidasi, dan serangan terhadap minoritas agama terus terjadi dengan difasilitasi oleh ketentuan hukum yang diskriminatif, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Impunitas
Impunitas merupakan sebuah fakta yang secara sah memberikan pembebasan atau pengecualian dari tuntutan atau hukuman atau kerugian kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Biasanya ini terjadi dari penolakan atau kegagalan sebuah pemerintah untuk mengambil atau melaksanakan tindakan hukum kepada pelaku. Impunitas dapat juga berupa pemberian pengampunan dari pejabat pemerintah. Tindakan seperti ini merupakan penghinaan dan tidak disetujui dalam hukum internasional HAM.
Menurut catatan Laporan Tahunan Amnesty International, korban-korban konflik bersenjata dan represi kekerasan masa lalu masih terus dilupakan di Indonesia. Pada tahun lalu, ditandai oleh peringatan ke-50 tahun mulai terjadinya peristiwa pembantaian massal tahun 1965-1966, ketika hingga satu juta orang kehilangan nyawanya di segala penjuru Indonesia. “Meskipun laporan-laporan resmi menghubungkan aparat keamanan kepada serangkaian kasus tersebut dan pelanggaran HAM lainnya di masa lalu, budaya impunitas terus berjaya dan hanya segelintir orang yang bisa dimintai pertanggungjawabannya,” kata Josef.
Tahun lalu, pemerintah Indonesia mencoba mencegah pertemuan-pertemuan yang akan diselenggarakan oleh para korban dan aktivis untuk memperingati peristiwa 1965. “Daripada mengganggu mereka yang mencoba memperingati kejadian masa lalu, Indonesia harus menjamin bahwa hak-hak korban atas kebenaran dan keadilan dihormati. Dengan memendam masa lalu akan hanya mempertahankan penderitaan dan tidak memutus rantai impunitas dan pelanggaran HAM yang terlah terjadi berpuluh-puluh tahun,” ujar Josef.
Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat
Menurut laporan Amnesty International, kurang lebih sebanyak 108 orang dicambuk di Aceh, di bawah hukum Syariah, karena perjudian, meminum alkohol, atau dianggap berzinah, selama periode tahun 2015. Pada bulan Oktober, Hukum Pidana Islam Aceh (Qanun Jinayat) mulai berlaku, memperluas penggunaan penghukuman yang kejam bagi pelaku hubungan seksual sejenis dan hubungan intim antara dua orang di luar ikatan perkawinan, dengan hukuman cambuk maksimum masing-masing 100 dan 30 kali.
“Hukum cambuk merupakan penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan martabat, dan bisa merupakan penyiksaan. Qanun Jinayat di Aceh dan implementasinya merupakan pelanggaran yang jelas terhadap kewajiban HAM internasional Indonesia, dan harus dicabut oleh pemerintah pusat,” kata Josef.
Hukuman Mati
“Pemerintah Indonesia mengeksekusi mati 14 orang pada tahun 2015. Pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran untuk melanjutkan eksekusi mati pada tahun 2016 yang secara potensial menempatkan nyawa dari terpidana mati dalam resiko. Hal ini menempatkan mereka dan keluarga mereka dalam situasi kecemasan serta ketakutan yang hebat,” ucap Josef.
Amnesty International menegaskan kembali seruannya kepada pemerintah Indonesia untuk segera menerapkan moratorium eksekusi mati dengan pandangan untuk menghapus secara total hukuman mati.
Editor : Eben E. Siadari
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...