Pelaku Nikah Beda Agama Paparkan Kisahnya di MK
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan terkait gugatan terhadap Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Rabu (22/10). Dalam sidang tersebut, sejumlah saksi pun diberi kesempatan untuk menceritakan kisahnya, salah satunya adalah pelaku, peneliti, dan konselor pernikahan beda agama, Ahmad Nurcholish.
Di hadapan majelis hakim konstitusi, pria yang pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Al-Faqih, Grobogan, Jawa Tengah tersebut menceritakan kisah diskriminasi yang ia dapatkan jelang pelaksanaan pernikahan dengan istrinya yang beragama Kong Hu Cu.
Berikut petikan kisah yang diutarakan oleh Nurcholish di hadapan hakim konstitusi, Rabu (22/10):
Sebagai pelaku pernikahan beda agama yang menikah pada 8 Juni 2003 silam,saya mengalami hambata dan diskriminasi ketika hendak mencatatkan pernikahan kami di Kantor Catatan Sipil (KCS) Jakarta Pusat. Saya seorang Muslim yang menikah dengan perempuan Kong Hu Cu. Kami menikah dengan dua cara, pertama Akad Nikah secara Islam di Yayasan Paramadina, Pondok Indah, Jakarta Selatan, lalu Perestuan-pernikahan secara Kong Hu Cu-di Litang (tempat ibadah agama Kong Hu Cu) Matakin (majelis Tinggi Agama Kong Hu Cu Indonesia), Sunter, Jakarta Utara.
Dari pernikahan tersebut kami mendapatkan dua surat keterangan, yakni Surat Keterangan Nikah Islam dari Paramadina dan Surat Perestuan Kong Hu Cu dari Litang Matakin.
Meski mengantongi dua surat pengesahan dari masing-masing agama, namun saya tidak mencatatkan pernikahan ke KUA (Kantor Urusan Agama). Sebab yang saya tahu saat itu bahkan hingga kini, KUA masih menolak pasangan Islam dan non-Islam. Kemudian saya memilih mencatatkan pernikahan kami ke KCS Jakarta Pusat. Tetapi pihak KCS menolak dengan alasan Khonghucu merupakan agama yang masih dipertanyakan, sehingga Surat Perestuan yang dikeluarkan oleh Matakin tidak diakui sebagai bukti sah pernikahan.
Padahal berdasarkan UU PNPS No. 1 Tahun 1965 dan dikukuhkan dengan UU No. 5 Tahun 1969, Kong Hu Cu merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia sejak lama. Pada Pemerintahan KH.Abdurrahman Wahid, tahun 2000, juga dinyatakan bahwa Kong Hu Cu merupakan salah satu agama yang berhak hidup dan dianut oleh warga Negara yang menganutnya.
Dari peristiwa tersebut jelas bahwa kami telah mengalami hambatan dalam hal pencatatan sekaligus mendapat diskriminasi dalam memperoleh hak sebagai warga Negara. Dengan tidak dicatatkannya pernikahan kami, maka secara otomatis hak kami sebagai suami-istri akan terabaikan, juga anak-anak yang lahir dari pernikahan kami ini.
Mencermati konsekuensi tersebut, setelah setahun lebih membiarkan diri dalam perlakuan diskriminatif tersebut maka saya kembali berupaya untuk mencatatkan kembali pernikahan kami, mengingat anak pertama kami akan segera lahir.
Namun dalam upaya tersebut masih mengalami hal yang sama dalam usaha untuk dapat dicatat pernikahan kami oleh Negara. Akhirnya atas saran dari salah seorang petugas KCS, yang menyarankan agar kami mengurus Surat Nikah Buddha, (mengingat di kolom agama istri tertulis Buddha), maka dengan sangat terpaksa kami mengikutinya. Pengurusan Surat Nikah Buddha dibantu oleh petugas dan tanggal pernikahannya disamakan dengan saat kami menikah di Paramadina dan Matakin. Dengan surat itulah akhirnya kami mendapatkan Kutipan Akta Nikah dari KCS Jakarta Pusat. Dengan demikian hak kami agar dicatat pernikahan kami sesuai tata cara Islam atau sesuai dengan tata cara Khonghucu tidak dapat diberikan oleh Negara. Negara (melalui petugas KCS) justru mengarahkan kami untuk melakukan manipulasi keyakinan agar dapat dicatat oleh Negara. (icrp-online.org)
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...