Loading...
HAM
Penulis: Endang Saputra 17:26 WIB | Senin, 17 November 2014

Pelanggaran Kebebasan Beragama Diperparah Kebijakan Pemerintah

Koordinator Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM Jayadi Damanik (kanan) saat membacakan 5 hal pokok yang dapat dijadikan sebagai rekomendasi untuk presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. (Foto: Dedy Istanto )

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Koordinator Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Jayadi Damanik, mengatakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan diperparah dengan sejumlah kebijakan pemerintah.

Dia mencontohkan kebijakan yang termasuk dalam kategori forum internum, seperti penetapan Presiden Republik Indonesia (PNPS) No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, serta UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk).

Demikian juga Keputusan Bersama Menteri Agama (Menag), Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri (PNPS) No 3/2008 --KEP-033/A/JA/6/2008-199 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat, dan sejumlah perda yang diskriminatif tentang larangan kegiatan Jamaah Ahmadiyah Indonesia.

"Keberadaan regulasi ini jelas melanggar HAM, karena negara membatasi (melarang) warga meyakini agama dan melakukan peribadatannya," kata Jayadi Damanik dalam diskusi dengan tema "Pemajuan Toleransi dan Akuntabilitas bagi Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Keyakinan, Belajar dari Pengalaman di Indonesia" di ruang Theatre dan Aula Perpustakaan Negara Jl.Salemba Raya 28 A, di Jakarta Pusat, Senin (17/11).

Sementara dalam kategori forum eksternum, dosen Universitas Nasional (Unas) ini mencontohkan penganut agama tertentu masih sulit untuk beribadah dan mendirikan rumah ibadah.

"Berdasarkan data pengaduan Komnas HAM, contoh mutakhir dari pelanggaran dalam kategori forum eksternum ini adalah penutupan Masjid Nur Khilafat di Ciamis, penutupan 17 gereja di Aceh Singkil, 5 gereja di Yogyakarta, penutupan 7 gereja di Cianjur, penyegelan gereja (bakal pos, Red) GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi, yang tidak kunjung dituntaskan penyelesaiannya," kata dia.

Pelanggaran-pelanggaran tersebut, kata Jayadi, terkait dengan berlakunya Peraturan Bersama Menteri Agama (PBM) No. 8/2006 dan No. 9/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Keberadaan PBM ini dalam kategori forum eksternum, menurutnya, tak menjadi dasar hukum untuk mengentaskan masalah kebutuhan jemaat untuk membangun rumah ibadah.

"Tetapi, justru menjadi bagian dari masalah, karena prasyarat administratif kalkulasi dukungan warga. Selain itu, PBM ini telah menjadi pikir, sikap, dan tindakan warga dan aparatur negara melakukan tindakan pelanggaran hak asasi manusia," ungkap mantan aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) ini.

Jayadi pun menyesalkan terus berulangnya kekerasan dan minimnya penyelesaian pelanggaran atas kebebasan berkeyakinan. Sebab, penegakan hukum masih sangat minim, di mana aparat kerap memproses hukum secara maksimal terhadap kelompok minoritas, "Tetapi pada saat yang sama, melakukan penjatuhan hukuman yang minimal kepada pelaku kekerasan."

"Dari segi akuntabilitas hukum, negara bahkan tidak memberikan kepastian hukum kepada korban atau tidak memulihkan hak-hak korban, sebagaimana yang dialami," katanya.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home