Pelapor Khusus PBB Menilai Rakyat Papua Tak Percaya Jakarta
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Dainius Puras, mengatakan masih ada rasa tidak percaya rakyat Papua kepada pemerintah pusat sehingga mereka tidak merasa memiliki atas program-program maupun institusi kesehatan pemerintah, yang disediakan untuk mereka.
Dainius Puras, dokter yang berasal dari Lithuania dan merupakan Pelapor Khusus PBB tentang hak setiap orang untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental (atau sering disebut Pelapor Khusus tentang hak atas kesehatan) berkunjung ke Indonesia mulai 22 Maret lalu hingga 3 April, atas undangan pemerintah RI.
Ia mengunjungi Papua pada 31 Maret, dan kembali ke Jakarta pagi keesokan harinya.
Pendapatnya tentang Papua banyak ditunggu oleh pemerhati Hak Asasi Manusia (HAM) karena isu pelanggaran HAM di Papua kerap diangkat di forum Dewan HAM PBB. Pelapor Khusus PBB sendiri mendapat mandat dari Dewan HAM PBB.
Pendapatnya tentang Papua ia sampaikan ketika berbicara dalam konferensi pers di kantor perwakilan PBB di Jakarta Senin (03/04) sebagai akhir dari rangkaian kunjungannya ke Indonesia.
Dalam laporan pendahuluan tentang kunjungannya ke Indonesia yang ia bacakan pada konferensi pers, Puras menyinggung soal Papua secara agak panjang (disamping berbagai isu lain), karena isu Papua merupakan yang paling awal dan beberapa kali ditanyakan wartawan.
Puras yang menjabat sebagai Pelapor Khusus PBB sejak 1 Agustus 2014, mengatakan ada stigma dan diskriminasi layanan kesehatan yang dirasakan penduduk asli Papua.
Profesor di Universitas Vilnius, Lithuania itu juga membenarkan bahwa ada keprihatinan yang serius pada kesehatan penduduk asli Papua. Bukan hanya tingginya prevalensi HIV AIDS, tetapi juga tingkat kematian bayi dan ibu, serta gizi buruk pada anak.
Menjawab pertanyaan satuharapan.com seusai konferensi pers, Puras mengatakan masalah ketidaksaling-percayaan Papua dan Jakarta merupakan isu penting yang harus dicarikan solusinya, karena memiliki pengaruh pada layanan kesehatan.
"Terus terang saya tidak memiliki saran bersifat mujizat untuk memperbaiki hal ini," kata Puras, yang masa kerjanya sebagai Pelapor Khusus adalah tiga tahun sejak ia ditugaskan.
Dia mengambil contoh program Keluarga Berencana (KB), yang menurut Puras, adalah program yang baik. Namun, program ini di Papua dicurigai karena dianggap bertujuan untuk mengurangi jumlah penduduk asli Papua.
Ini terjadi, lanjut dia, karena belum terbangun saling percaya kedua belah pihak.
"Seandainya pun program KB ini dijalankan secara etis dan baik, rakyat Papua masih berpikir bahwa KB ini bertujuan untuk mengurangi jumlah penduduk asli Papua. Sulit menjelaskan ini bagi saya karena saya sendiri pendukung KB. Kalau program KB itu dijalankan secara paksa, itu salah, itu melanggar HAM. Tetapi kalau dilaksanakan dengan cara yang baik, diedukasi, agar tidak setiap tahun melahirkan, itu bagus. Namun, dalam lingkungan yang tidak saling mempercayai, ini menjadi komplikasi. Jadi harus ada solusi untuk hal ini," tutur dia.
Isu Pembatasan Kelahiran Orang Asli Papua
Pada hari Jumat (31/03) malam saat Puras berjumpa dengan masyarakat sipil di kantor Sinode GKI Di Tanah Papua di Jayapura, soal kecurigaan adanya konspirasi menekan jumlah penduduk Papua memang mengemuka.
Menurut laporan Tabloid Jubi, seorang petugas rumah sakit di Abepura menceritakan dugaan bahwa pihak rumah sakit membatasi kelahiran orang Papua dengan cara menteror keluarga ibu yang hendak bersalin dengan ancaman kematian.
"Sebenarnya lahir normal itu bisa tapi kadang petugas bilang kalau tidak operasi ibu atau anak mati. Keluarga terpaksa tanda tangan operasi," kisah sang petugas, seperti dilaporkan oleh Tabloid Jubi.
Seorang bidan dari Yahukimo juga mengatakan hal senada. Ia mengatakan pembatasan hak reproduksi juga menjadi pintu masuk bagi kekerasan terhadap perempuan. Praktik program KB yang tidak informatif menyebabkan banyak perempuan di Yahukimo mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
"Perempuan di Yahukimo yang ikut KB suntik itu kan harusnya setiap tiga bulan dalam setahun. Tapi karena informasi dari petugas kesehatan yang tidak jelas, mereka suntik terus setiap tahun hingga tidak bisa melahirkan. Akibatnya suami mereka marah dan melakukan kekerasan," kata bidan itu.
Otonomi dan Kesempatan kepada Orang Asli Papua
Puras mengatakan status otonomi pada Papua kemungkinan dapat digunakan secara lebih efektif dalam mengatasi berbagai persoalan kesehatan di Papua. Namun, ia sendiri mengakui, orang Papua banyak kecewa atas otonomi khusus yang sudah berjalan.
"Saya tidak memiliki waktu untuk mengeksplorasi apa yang disediakan otonomi khusus terhadap layanan kesehatan. Saya hanya mendapat kesan bahwa mereka kecewa dengan otonomi khusus ini. Terlalu kecil. Tetapi saya tidak tahu. Soal otonomi khusus di luar mandat saya," kata dia.
Ia mengatakan memang ada ekspektasi tinggi bahwa status otonomi akan membawa perubahan yang baik. Setidaknya, lanjut Puras, sektor kesehatan seharusnya dapat menunjukkannya kepada rakyat Papua.
Otonomi Papua, kta dia, juga semestinya dapat dipakai membina dan membangun lingkungan yang saling mempercayai (antara Jakarta dan Papua) sehingga dengan demikian rakyat Papua bersedia masuk dalam sistem pelayanan kesehatan yang ada.
"Sebab, jika mereka tidak percaya, maka sistem ini tidak bekerja dengan baik," tutur dia.
Salah satu solusi yang ia sarankan untuk meningkatkan saling percaya rakyat Papua dan Jakarta dalam layanan kesehatan ialah memperbanyak mempekerjakan penduduk setempat dalam bidang kesehatan. "Agar lebih banyak orang setempat dalam layanan kesehatan dan memberikan layanan kesehatan," tutur dia.
Puras mengatakan selama kunjungan di Jayapura ia menemukan banyak pekerja dan fasilitas kesehatan. Tetapi ia mengatakan banyak di antara mereka adalah dari keluarga transmigran.
Aspirasi Menentukan Nasib Sendiri
Menyinggung soal aspirasi menentukan nasib sendiri di kalangan rakyat Papua yang sering diangkat di Dewan HAM PBB dan apakah Puras mendengarkan hal itu dalam pertemuan dengan rakyat Papua, Puras mengatakan itu berada di luar mandatnya.
"Sebelum mengadakan pertemuan, kami sepakat bahwa kita hanya berbicara pada masalah-masalah yang menjadi mandat saya," kata Puras. Namun, ia menduga aspirasi itu diungkapkan kepadanya dengan cara-cara bersifat simbolis.
Secara keseluruhan, Puras mengatakan puas selama kunjungannya di Indonesia dan juga di Papua. Ia memberi apresiasi kepada pemerintah Indonesia atas hal itu.
"Saya berada di Papua selama 30 jam. Saya bisa bertemu pemangku kepentingan yang berbeda, saya mengunjungi layanan kesehatan, puskesmas dan rumah sakit. Saya bertemu dengan pemerintah, dan saya ada pertemuan dengan komunitas, perwakilan ormas, dan rakyat sipil. Sehingga saya harus mengatakan kunjungan ke Papua walaupun singkat, walaupun hanya ke ibukotanya saja, sungguh memenuhi ekspektasi saya," kata Puras.
Mengenai sorotan bahwa Puras hanya mengunjungi Jayapura padahal seharusnya pergi ke pelosok untuk melihat langsung fasilitas kesehatan yang ada, Puras mengatakan dalam waktu yang terbatas memang tidak bisa melakukan pengamatan yang lebih dalam. Termasuk menuju tempat-tempat terpencil.
"Tetapi kunjungan ke Papua ini adalah bagian penting dari country mission saya dan bertemu dengan para perwakilan organisasi kemasyarakatan sipil di sana, di lokasi yang mereka pilih sendiri. Saya telah melakukan hal seperti ini dalam semua country mission saya. Kalau saya bertemu di luar ibukota, pasti akan ada pertemuan pribadi dengan ormas sipil. Bukan hanya di Papua, tetapi juga di Padang, di Labuan Bajo dan di Jakarta. Dan ini saya kira sangat penting."
Puras menjanjikan dalam laporannya nanti ia akan memberikan rekomendasi dengan mempertimbangkan situasi spesifik di Papua.
Ia mengatakan laporannya kepada Dewan HAM PBB akan komprehensif dan menyeluruh, tidak akan secara khusus membuat laporan tentang Papua. Laporan itu akan ia serahkan pada Dewan HAM PBB pada bulan Juni 2018.
Editor : Eben E. Siadari
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...