Pemakaman Kura-kura
Mari kita menelisik perspektif dan ambisi pribadi kita!
Pernahkah Anda mendengar kisah mengenai seorang anak kecil yang sedih karena kura-kura kesayangannya mati? Didorong oleh rasa sayang sebagai orangtua, ayah dan ibunya mencoba menghiburnya dengan menjanjikan sebuah upacara pemakaman yang mewah bagi kura-kura itu. Tangisan anak kecil itu pun reda. Ia mulai membayangkan akan indah dan agungnya upacara pemakaman tersebut. Akan tetapi, keesokan harinya, ketika segala sesuatu telah dipersiapkan dan upacara pemakaman akan digelar, sebuah keajaiban kecil terjadi. Kura-kuranya hidup kembali!
Namun, karena tak ingin kehilangan momen upacara pemakaman mewah, anak kecil itu berkata kepada ayah dan ibunya, ”Mari kita bunuh kura-kura ini!”
Tragis. Hanya karena menginginkan kemegahan sebuah upacara pemakaman, anak kecil itu malah ingin membunuh kura-kura kesayangannya. Kegandrungannya akan kemegahan upacara pemakaman telah membuatnya menjadi penolak kehidupan. Kesenangannya yang sesaat akan ”romantisme” upacara pemakaman telah membuatnya menjadi anak yang kejam.
Dan, yang lebih mengerikan, Si Anak tidak sendirian. Kita, dalam beberapa hal, barangkali menjadi seperti anak kecil tersebut. Kita mengejar apa yang fana ketimbang apa yang kekal. Kita terlalu berambisi mengejar keberhasilan dalam satu atau dua hal, sampai-sampai kita mengorbankan hal-hal yang penting di dalam kehidupan, seperti hubungan kita dengan Tuhan dan sesama.
Hubungan kita dengan Tuhan dan hubungan kita dengan sesama merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Sama seperti dua sisi mata uang. Kualitas dan kedekatan hubungan kita dengan Tuhan tercermin dari bagaimana kita memperlakukan sesama kita manusia, apa pun latar belakangnya. Kita tidak bisa mengklaim mencintai Tuhan selama kita masih membenci dan bahkan ingin menghabisi sesama kita. Kita tak mungkin mencintai Sang Pemberi Kehidupan sambil membunyikan lonceng kematian.
Lonceng kematian itu bukan hanya mengenai terpisahnya roh dari tubuh. Ia bisa menjelma dalam hal-hal kecil yang nyaris tak kita sadari dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita memandang rendah orang lain, misalnya, kita sedang mematikan potensinya untuk bertumbuh. Ketika kita lebih memilih untuk menatap layar ponsel ketimbang berbincang dengan orang-orang yang seharusnya kita kasihi, kita sedang meniadakan keberadaan mereka. Ketika sikap kita terhadap sesama lebih bergantung kepada status, penampilan, atau pekerjaan mereka, sesungguhnya kita juga sedang menihilkan kemanusiaan mereka. Ketika kita menuruti permintaan suap demi memperlancar urusan kita, sesungguhnya kita sedang turut serta melanggengkan budaya korup yang mematikan. Dampak korupsi selalu mematikan, tidak pernah menghidupkan—sekalipun ada politikus yang menganggapnya sebagai oli pembangunan.
Mari kita menelisik perspektif dan ambisi-ambisi pribadi kita agar terhindar dari memilih upacara pemakaman ketimbang kura-kura.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...