Pemanasan Global Picu Kenaikan Konflik
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Pada rapat Dewan Keamanan PBB, Rabu (11/7), para diplomat membicarakan pentingnya mengakui pemanasan global sebagai faktor risiko yang dapat memperuncing ketegangan antarmasyarakat, dan mendorong orang jatuh ke tangan kelompok teroris.
Deputi Sekretaris Jenderal PBB Amina Mohammed mengemukakan kepada Dewan Keamanan, “perubahan iklim tidak dapat dipisahkan dari sebagian dari tantangan keamanan dalam zaman kita."
"Kita mesti memahami perubahan iklim sebagai satu isu dalam jaringan faktor yang dapat menjurus ke konflik. Dalam jaringan ini, perubahan iklim bertindak sebagai pengganda ancaman, menambah tekanan pada titik-titik politis, sosial dan ekonomi yang sedang tertekan," kata Mohammed.
Berbagai faktor terkait iklim semakin memainkan peran dalam meningkatnya konflik antara tetangga dan suku bangsa.
“Dalam situasi politik yang tidak menentu, seperti di Timur Tengah, ketimpangan dalam akses pada air menjadi ancaman nyata terhadap perdamaian dan stabilitas” kata Menteri Sumber Daya Air Irak Hassan Janabi.
Kalau ekonomi merosot, pengangguran dan kemiskinan bertambah dan orang tidak punya kegiatan, ini membuka pintu bagi kelompok teroris merekrut anggota. Bukan saja lelaki dan anak lelaki, tetapi juga bertambah banyak perempuan yang direkrut oleh kelompok teroris.
Penelitian Bencana Iklim Tingkatkan Konflik
Sementara itu para peneliti meyakini, bencana iklim dapat meningkatkan risiko konflik bersenjata di negara-negara di mana kelompok etnis yang berbeda hidup berdampingan.
Penelitian, dari Institut Potsdam untuk Penelitian Dampak Iklim, Jerman, menunjukkan bencana alam yang terkait dengan iklim dapat memperburuk ketegangan antara kelompok etnis yang berbeda.
Dr Carl Schleussner, yang memimpin penelitian tersebut, mengatakan, “Bencana alam yang terkait dengan iklim memiliki potensi mengganggu yang tampaknya bermain dalam masyarakat yang secara etnis terfraksionasi dengan cara yang sangat tragis.”
Para peneliti menemukan, hampir seperempat dari konflik di negara-negara yang terdiri atas berbagai etnik terjadi pada saat yang sama dengan masalah iklim, bahkan tanpa memperhitungkan perubahan iklim.
Dr Schleussner menambahkan, bencana iklim tidak secara langsung memicu pecahnya konflik, tetapi dapat meningkatkan risiko pecahnya konflik yang berakar pada keadaan konteks yang spesifik.
Dr Jonathan Donges, yang bekerja dalam penelitian tersebut, mengatakan, “Kami telah terkejut dengan hasil penelitian ternyata negara yang memiliki keragaman etnik, lebih menonjol dibandingkan dengan fitur negara lain, seperti sejarah konflik, kemiskinan, atau ketidaksetaraan.
"Kami berpikir bahwa perbedaan etnis dapat berfungsi sebagai garis konflik yang telah ditentukan ketika tekanan tambahan seperti bencana alam datang, membuat negara multi-etnis sangat rentan terhadap dampak bencana tersebut."
Para peneliti menggunakan konflik internal di Irak sebagai contoh.
Dalam makalahnya, mereka menulis: 'Meskipun tidak secara etnis terpecah-pecah, identitas etnis tampak memainkan peran penting dalam perang sipil yang sedang berlangsung di Suriah dan Irak.'
"Jelas bahwa akar dari konflik-konflik ini, seperti untuk konflik bersenjata secara umum, adalah kasus spesifik dan tidak secara langsung terkait dengan bencana alam yang terkait dengan iklim. Namun demikian, peristiwa-peristiwa mengganggu seperti itu memiliki potensi untuk memperkuat ketegangan dan tekanan sosial yang sudah ada dan dengan demikian lebih lanjut mengguncang beberapa daerah paling rentan konflik di dunia."
Namun, hasil penelitian tidak dapat digunakan untuk memprediksi risiko di negara-negara tertentu. Perubahan iklim buatan manusia jelas akan meningkatkan gelombang panas dan kekeringan regional.
"Pengamatan kami dikombinasikan dengan apa yang kami ketahui tentang peningkatan dampak perubahan iklim dapat membantu kebijakan keamanan untuk fokus pada daerah-daerah berisiko."
Banyak wilayah paling rentan konflik di dunia, termasuk Afrika Utara dan Tengah serta Asia Tengah, sama-sama rentan terhadap perubahan iklim buatan manusia, dan ditandai dengan perbedaan etnis yang mendalam.
Para peneliti berharap temuan mereka dapat membantu dalam desain kebijakan keamanan di daerah berisiko tinggi ini. (voaindonesia.com/dailymail.co.uk)
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...