Pemberontak Kuasai Ibukota Republik Afrika Tengah
BANGUI - Pemberontak Afrika Tengah merebut kendali Bangui, Ibukota Republik Afrika Tengah. Presiden Afrika Tengah, Francois Bozize, melarikan diri sebagai upaya penyelamatan diri. Meskipun menguasai Ibu Kota, para pemberontak berjanji untuk tetap menghormati kesepakatan damai Januari dan mengadakan pemilu dalam waktu tiga tahun.
Penjarah dan gerombolan bersenjata berkeliaran di jalan-jalan kota Bangui. Dan terdapat korban sejak tentara Afrika Selatan bentrok dengan pemberontak. Tapi setelah para pejuang dari koalisi Seleka memberontak dan menduduki istana kepresidenan hari Minggu (24/3) mereka menyatakan kemenangan.
Pimpinan koalisi Seleka, Michel Djotodia menyatakan kepada Radio France Internationale (RFI) mereka akan menghormati ketentuan perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada rezim Francois Bozize, presiden yang baru saja mereka gulingkan. Tokoh oposisi, Nicolas Tiangaye, yang ditunjuk untuk menduduki jabatan Perdana Menteri Republik Afrika Tengah, sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, mengatakan akan tetap berada di pos.
"Saya bertemu dengan Mr Tiangaye. Kami telah berbicara dengan dia," kata Djotodi, seperti yang diberitakan kantor berita Agence France Presse, Perancis. Tiangaye menyatakan dalam waktu tiga tahun, mereka akan menggelar pemilu yang bebas dan adil seperti yang diatur dalam kesepakatan tersebut. Dan ia telah menjaga beberapa menteri dari klan Bozize.
Pejuang pemberontak kembali memulai perlawanan pekan lalu di bekas jajahan Perancis setelah mereka menuduh Bozize mengingkari ketentuan perjanjian damai tersebut. Para pejuang pemberontak pindah ke ibukota hari Sabtu malam dan hari Minggu, bentrok dengan tentara Afrika Selatan yang ditempatkan di sana. Brigadir Jenderal Xolani Mabanga, dari tentara Afrika Selatan mengatakan kepada kantor berita SAPA, telah ada korban, namun ia tidak dapat memberikan angka.
Tentara Afrika Selatan telah ditempatkan di Bangui untuk mendukung pasukan pemerintah yang kurang terlatih dan sakit.
Hari minggu kemarin, pria-pria bersenjata berkeliaran di dalam kota. Mereka menjarah rumah, toko-toko, restoran dan kantor-kantor, termasuk kantor UNICEF. "Mereka memecah pintu dan menjarah dan setelah itu, orang-orang datang dan melakukan hal yang sama" kata Nicaise Kabissou, yang tinggal di distrik pusat.
Seorang diplomat mengatakan pasokan listrik telah diputus diakhir pekan, akibat adanya penjarahan. Komite Internasional Palang Merah (ICRC) melaporkan bahwa orang-orang yang terluka membanjiri rumah sakit dan pusat kesehatan di Bangui. Mereka meminta akses aman ke ibukota.
Keberadaan Bozize, yang melakukan kudeta tahun 2003, tetap menjadi misteri. Seorang sumber mengatakan, ia meninggalkan negara itu dengan helikopter, namun sumber tersebut tidak mengatakan tujuannya. Menteri Luar Negeri Perancis, Laurent Fabius, yang dikonfirmasi hanya menyatakan Bozize telah melarikan diri dari Bangui.
Minggu pagi, Presiden Perancis, Francois Hollande, telah meminta semua pihak yang terlibat dalam konflik mematuhi kesepakatan damai Januari. Ia juga menyerukan agar kelompok bersenjata menghormati penduduk. Panggilan tersebut juga disuarakan Amerika Serikat (AS), yang menyatakan keprihatinan mendalam atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan kedua belah pihak. Seperti yang dikatakan oleh Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Victoria Nuland.
Untuk menghadapi pasukan pemberontak yang tiba di pinggiran Bagui pada Sabtu (23/3), Perancis mengirim lagi 300 tentara tambahan untuk mendukung 250 tentara yang sudah ada. Penambahan personil ini untuk melindungi 1.250 warga negara Perancis yang tinggal di Bagui.
Kesepakatan bulan Januari telah membawa beberapa tokoh dari Seleka dan tiga gerakan pemberontak ke dalam pemerintahan. Tapi kesepakatan itu runtuh setelah pemberontak mengatakan tuntutan mereka, termasuk pelepasan para tahanan politik yang belum terpenuhi.
Seleka pertama kali melancarkan serangan di utara pada 10 Desember. Mereka menuduh Bozize gagal menghormati perjanjian perdamaian sebelumnya. Mereka menyapu selatan, merebut sejumlah kota di sepanjang jalan dan menentang seruan PBB untuk berhenti. Negosiasi mengakhiri pemberontakan tersebut dan melahirkan kesepakatan damai Januari di Libreville.
Komandan pemberontakan, Kolonel Djouma Narkoyo, mengatakan pada Sabtu, saat krisis, pemberontak sudah siap untuk bertemu dengan para pemimpin regional Afrika, tapi mereka tidak akan bernegosiasi dengan Bozize.
Peninggalan Bozize setelah satu dekade berkuasa adalah sebuah negara yang penuh dengan korupsi dan terperosok dalam kemiskinan. Meskipun sesungguhnya Republik Afrika Tengah memiliki sumber daya alam yang melimpah, meliputi uranium, emas, minyak dan berlian.
Negara yang memiliki populasi sekitar 4,5 juta ini, sejak merdeka dari Prancis pada 1960 terus bergejolak. Kondisi paling brutal adalah saat di bawah kepemimpinan Kaisar Jean-Bedel Bokassa, yang digulingkan pada tahun 1979, dalam sebuah kudeta yang didukung Perancis.
Awas Uang Palsu, Begini Cek Keasliannya
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Peredaran uang palsu masih marak menjadi masalah yang cukup meresahkan da...