Pemenang Nobel: Globalisasi Harusnya Untungkan Indonesia
LONDON, SATUHARAPAN.COM - Pemenang Hadiah Nobel di bidang ekonomi, Eric Maskin, menyatakan globalisasi seharusnya membawa kesejahteraan bagi negara-negara berkembang dan memperkecil jarak antara kelompok berpunya dan kelompok miskin.
Eric Maskin mengemukakan hal itu dalam pertemuan dengan para pemenang Hadiah Nobel di Lindau, Jerman, seperti dilaporkan Ekonom Bank Indonesia, Muslimin Anwar, yang juga hadir dalam pertemuan itu kepada Antara London, Jumat (22/8).
Menurut Eric Maskin, yang juga dosen di Harvard University itu, kenyataan yang ada sampai saat ini kesenjangan masih tetap saja lebar. Belakangan ini, kesenjangan itu bahkan tidak hanya terjadi di negara berkembang namun juga di negara-negara maju.
Eric Maskin, dalam paparannya mengenai "Why Haven`t Global Markets Reduced Inequality in Developing Economies?" mengatakan bahwa kesenjangan kesejahteraan telah dan akan terus menjadi permasalahan dan pekerjaan rumah politik dan sosial.
Ekonom Bank Indonesia, Muslimin Anwar, sependapat Eric Maskin, dan berbicara pagi ini pukul 09.30 waktu Lindau dalam pertemuan ekonom muda dunia dengan peraih Nobel bidang ekonomi (Lindau Nobel Laurate Meetings) itu.
Dia berpendapat, permasalahan sesungguhnya dari globalisasi bukan pada ide dari globalisasi itu sendiri. Produksi dapat dilakukan di mana saja di dunia ini sepanjang biaya dari faktor produksi itu efisien.
Kesenjangan kesejahteraan sangat bertentangan dengan teori perbandingan keberuntungan, Theory of Comparative Advantage, David Ricardo, 200 tahun lalu.
Transaksi perdagangan seharusnya menguntungkan bagi negara-negara yang kaya akan faktor-faktor produksi seperti sumber daya alam dan tenaga kerja, khususnya negara yang memiliki tenaga kerja dengan keahlian tinggi (high skill).
Muslimin menambahkan, salah satu dari 450 ekonom muda dari 80 negara dunia yang diundang bertemu para pemenang Hadiah Nobel di Lindau, menyatakan Indonesia sudah seharusnya memanfaatkan keunggulan komparatif kekayaan sumber daya alam dan kelompok kelas menengah dengan keahlian tinggi.
Hal itu dibutuhkan untuk mengolah sumber daya alam dengan nilai tambah tinggi yang dapat dijual dengan harga yang jauh lebih menguntungkan bagi pendapatan negara yang sangat diperlukan untuk mengurangi defisit kembar baik defisit APBN maupun defisit Transaksi Berjalan yang saat ini cukup tinggi di atas level psikologis tiga persen.
Maskin mengungkapkan, problem dari globlisasi itu terletak pada masalah distribusi kekayaan dari keuntungan yang didapat oleh suatu negara dari transaksi dagang globalnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan penduduknya.
Muslimin yang juga dosen FEUI berpendapat, umumnya untuk negara berkembang seperti Indonesia kepiawaian dalam menghasilkan faktor produksi input yang bernilai tambah tinggi belum dilakukan secara optimal dan pengembangan sumber daya manusia dengan keahlian tinggi (high skill) belum menjadi perhatian serius emerintah meskipun anggaran pendidikan telah dinaikkan 20 persen dari APBN.
Pemerintah baru nantinya diharapkan segera melakukan berbagai reformasi struktral yang diperlukan agar produk dalam negeri mampu menjadi input dalam rantai produksi global yang menghasilkan berbagai kebutuhan dunia khususnya di bidang teknologi.
Hal itu terbukti lebih banyak menghasilkan keuntungan dan membuka banyak lapangan kerja, sebagaimana telah dinikmati negara berkembang lainnya seperti Tiongkok dan Korea Selatan. (Ant)
Editor : Sotyati
Kamala Harris: Negara Harus Terima Hasil Pemilu, Mendesak Pe...
WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM-Menghadapi penolakan besar-besaran oleh para pemilih Amerika, Kamala ...