Loading...
INDONESIA
Penulis: Reporter Satuharapan 19:03 WIB | Minggu, 18 September 2016

Pemerintah Diminta Perhatikan Hak Reproduksi Difabel

Peserta mengoperasikan perangkat komputer saat pelatihan Komputer Bicara Bagi Disabilitas Netra di Jakarta, Jumat (3/6). Permata Bank bersama PT Kartunet Media Karya dan Rumah Internet Atmanto (RIAT) mengadakan pelatihan komputer bicara bagi penyandang difabel netra untuk mengajarkan peserta berinteraksi dengan media sosial, blogging serta internet marketing. (Foto: Antara)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -  Pemerintah diminta untuk memperhatikan hak-hak reproduksi warga negara Indonesia yang berkebutuhan khusus atau difabel, khususnya kaum perempuan.

Selama ini pemerintah dinilai kurang memperhatikan hak-hak reproduksi penyandang difabel, khususnya perempuan.

"Hal ini ditunjukkan oleh tidak adanya kebijakan yang mendukung akses informasi serta pelayanan kesehatan reproduksi bagi penyandang difabel." kata Penggiat Konsorsium Nasional Difabel Risnawati Utami, di Yogyakarta, hari Minggu (18/9).

Program-program jaminan kesehatan yang ada juga belum sepenuhnya mendukung hak-hak difabel, katanya. 

Ia mengungkapkan, dalam Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) dan Program Aksi Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD PoA), secara eksplisit telah mewajibkan pemerintah di semua tingkatan untuk memperhatikan kebutuhan dan hak-hak difabel. 

"Karena itu, diskriminasi terkait hak-hak reproduksi difabel pun harus dihilangkan. Tapi faktanya, tidaklah demikian," ujarnya.

Menurut dia, hampir sebagian besar perempuan dengan difabel mendapatkan akses informasi yang minim tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas.  

Selain itu, lemahnya penguasaan teknik komunikasi petugas kesehatan menjadi kendala signifikan dalam upaya melakukan sosialisasi dan pelayanan terutama kepada tuna rungu dan tuna grahita. Di sisi lain, jelasnya, masih ada stigma di masyarakat yang melihat isu seksualitas dan kesehatan reproduksi sebagai hal yang tabu.

Pada akhirnya, tambah dia, pemerintah perlu untuk bekerja sama dengan berbagai pihak seperti akademisi, lembaga riset, LSM, dan organisasi difabel untuk mengidentifikasi kebutuhan perempuan dengan difabel terkait kesehatan reproduksi. 

Program-program kebijakan, kata dia, penganggaran hingga perangkat hukum peradilan yang pro terhadap hak kesehatan reproduksi difabel juga perlu dibuat.

"Terkait persoalan hukum, para difabel terutama perempuan, kerap menjadi objek atau korban kekerasan seksual. Saat kekerasan seksual terjadi, ternyata bantuan serta perangkat hukum di Indonesia tidak ada yang dapat mengadvokasi. Tak heran, sangat sedikit yang tertangani. Sebagian besar kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang difabel justru tak pernah terungkap," kata dia. (Ant)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home