Pemerintah Harus Minta Fatwa MUI Sebelum Kebiri Pedofil
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah disarankan meminta fatwa terlebih dahulu dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebelum memberikan pemberatan hukuman kepada pelaku kekerasan kepada anak. Sebab, dikhawatirkan aturan yang dibuat pemerintah nantinya berbeda dengan pandangan MUI.
“Seharusnya minta fatwa dulu dari MUI. Nanti bila MUI mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan pemerintah bisa jadi kontroversi,” kata Ketua Umum MUI, Ma’ruf Amin kepada sejumlah wartawan usai menghadiri ‘Deklarasi Hari Santri Nasional’ di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, hari Kamis (22/10).
Terkait pemberatan hukuman yang akan dilakukan adalah dengan mengebiri, dia menilai tidak bertentangan dengan agama Islam. Bahkan, bila pelaku kekerasan pada anak tidak mempan dengan hukuman tersebut, bisa dijatuhi hukuman mati.
“Dihukum seberat-beratnya dengan cara memberi hukuman penjara dalam jangka waktu panjang, atau dibunuh kalau sudah tidak bisa dengan hukuman lain,” kata Ma’ruf.
Sementara itu, anggota Komisi Perlindungan Anak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia, Hidayat Nur Wahid, mendukung rencana pemberatan hukuman terhadap pelaku kekerasan pada anak. Namun, opsinya tidak terbatas pada pengebirian pelaku saja,
"Secara prinsip kami (Komisi VIII) setuju perlu ada pemberatan hukuman terhadap penjahat anak (pelaku kejahatan terhadap anak). Kalau kemudian Presiden Joko Widodo menyetujui kebiri satu hal yang kami bisa menerimanya, tapi mengapa juga tidak dipertimbangkan lebih berat," kata dia.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menjelaskan pemberatan hukuman ini sudah berkali-kali disampaikan oleh Menteri Sosial (Mensos), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Men PPPA), dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) soal pemberatan hukuman untuk pelaku kekerasan pada anak. Terlebih, dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak terdapat hukuman mati bagi pelaku kejahatan terhadap anak, dan juga melibatkan anak dalam kejahatan narkotika dan obat terlarang (narkoba).
"Apalagi itu langsung perbuatan pencabulan, lebih dahsyat (hukumannya)," ucap Hidayat.
Dia menambahkan, adanya alternatif hukuman yang lebih keras penting diambil kalau ternyata pemberatan hukuman dianggap belum efektif. Pemerintah dan DPR bisa melakukan segala yang memungkinkan dilakukan untuk menyelamatkan dan memberi rasa aman kepada seluruh anak Indonesia.
"Itulah kewajiban negara, sekali lagi terhadap hukuman mati itu, kenapa itu tidak diambil," kata dia.
Karena itu, Hidayat menyampaikan, Komisi Perlindungan Anak DPR telah menyampaikan kepada Mensos dan Men PPPA untuk merevisi UU Perlindingan Anak. Tujuannya, menghadirkan koreksi hukum terhadap kejahatan anak daripada tindakan responsif dengan membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mengenai hukuman kebiri tapi tidak menolong selamanya.
"Saya kira peluang terbuka untuk mengajukan revisi perlindungan anak, kami mendukung. Dalam revisi ada pemberatan hukuman, tata peran KPAI yang dulu diberi peran sosialisasi maka sekarang kok hilang, tidak jelas," tutur Hidayat.
Namun, pendapat berbeda, disampaikan anggota Komisi Perlindungan Anak DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Khatibul Umam Wiranu. Dia menilai pernyataan dan persetujuan Presiden tentang hukuman kebiri salah. Sebab, hukuman pidana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengenal hukuman kurungan, hukuman seumur hidup, dan atau hukuman mati. Dia pun menolak Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu yang mengatur hukuman tambahan atau pemberat bagi predator seks tersebut.
"Sebab, hukum pidana yang berlaku di Indonesia tidak mengenal hukuman pengebirian. Tidak setuju, kami menolak itu," ucap dia.
Editor : Bayu Probo
Berjaya di Kota Jakarta Pusat, Paduan Suara SDK 1 PENABUR Be...
Jakarta, Satuharapan.com, Gedung Pusat Pelatihan Seni Budaya Muhammad Mashabi Jakarta Pusat menjadi ...