Pemerintah Melanggar HAM, Menolak Catat Nikah Beda Agama
JAKARTA,SATUHARAPAN.COM - Albertus Patty, Pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI) mengatakan bahwa pemerintah telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), karena menolak meregistrasi pernikahan beda agama.
"Ada Hak Asasi Manusia yang memang terabaikan dengan catatan sipil," kata dia.
Pemerintah, kata dia dalam diskusi di kantor sekretariat Indonesian Conference on Religiond and Peace (ICRP) Cempaka Putih Barat XXI No 34 Jakarta Pusat, Rabu (1/10), selalu beralasan tindakan tersebut, yaitu tidak bersedia mencatat pernikahan dari pasangan yang berbeda agama sudah sesuai UUD 1945.
"UUD mengatakan, yang namanya perkawinan itu sah ketika agama kedua pasangan sama," katanya.
Sehingga, terang Albert, tiap pasangan suami-istri yang berbeda agama, sekalipun telah dilakukan acara pernikahan secara agama, tidak akan diregistrasi pemerintah, khususnya dinas catatan sipil.
"Itu juga (berlaku bagi) mereka yang menikahnya di luar negeri. Jadi, menikahnya di sana beda agama mau ke sini, mau daftar, tidak bisa, tetap dinas catatan sipil tidak mau mencatat,” katanya.
Atas dasar itu, Albert kerap menyarankan pasangan beda keyakinan yang ingin menikah untuk melangsungkan niat sucinya di luar negeri. Meskipun di GKI tidak melarang adanya pernikahan beda agama.
Di sisi lain, dia mengaku menyesal atas sikap pemerintah tersebut, karena berlebihan. Sebab, secara kewenangan, dinas catatan sipil hanya bertugas secara administratif.
"Memang sudah dapat indoktrinisasi itu (dari) siapa? Kan siapa yang beda agama tidak dicatat, ini persoalan administatif. Tugas fungsi administratif kan di catatan sipil. Tapi, dia mengambil subtantif, dia menikahkan itu sah atau tidak, tergantung dia mau mencatat apa enggaknya," katanya.
Albert juga menyayangkan sikap pemerintah yang mengembalikan restu pernikahan beda iman ke masing-masing agama.
"Tentu saja masing-masing agama tidak setuju,” kata dia.
"Di Kristen Protestan pun tidak ada yang setuju. Misalnya tokoh-tokoh GPIB dan HKBP tidak setuju sama sekali. Itu yang menikah beda agama, itu bisa protes. Di Muslim di putus sama jamaahnya," jelas dia.
Sementara itu, Peneliti ICRP, Achmad Nurcholish, pada kesempatan sama mengatakan, seharusnya pemerintah menjalankan fungsi administrasinya terkait pernikahan beda kepercayaan, khususnya enam agama yang diakui di Indonesia.
"Itu (diatur) di UU Administratif Kependudukan No. 23 tahun 2006. Pembaruan di UU No. 24 tahun 2012 muncul lagi, diakui," kata dia menambahkan.
Namun, karena pemerintah belum menjalankan fungsi tersebut, Ahmad menerangkan, ICRP mendukung langkah mahasiswa dan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang mengajukan uji materi UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK), agar pernikahan beda agama dilegalkan.
Adapun salah satu poin yang dipermasalahkan mahasiswa-alumnus FHUI tersebut mengenai Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu,” katanya.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
AS Memveto Resolusi PBB Yang Menuntut Gencatan Senjata di Ga...
PBB, SATUHARAPAN.COM-Amerika Serikat pada hari Rabu (20/11) memveto resolusi Dewan Keamanan PBB (Per...