EKONOMI
Penulis: Melki Pangaribuan
20:27 WIB | Minggu, 19 Februari 2017
Pemerintah Siap Hadapi Freeport Bila ke Arbitrase
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah mengaku telah dan akan terus berupaya maksimal mendukung semua investasi di Indonesia baik investasi asing maupun investasi dalam negeri tanpa terkecuali.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, mengatakan terkait wacana PT Freeport Indonesia (PTFI) yang akan membawa persoalannya ke arbitrase internasional, itu merupakan langkah hukum yang menjadi hak siapa pun.
Namun Pemerintah Indonesia berharap tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum, karena apa pun hasilnya dampak yang ditimbulkan akan kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan.
"Namun itu langkah yang jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan Pemerintah," kata Ignasius Jonan dalam siaran pers, di Jakarta, hari Sabtu (18/2).
Jonan menilai, koorporasi global selalu memperlakukan karyawan sebagai aset yang paling berharga, dan bukan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata.
Mengacu Undang Undang
Dalam hal pertambangan mineral logam, Pemerintah tetap berpegangan pada UU Mineral dan Batubara No 4/2009 dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No 1/2017 sebagai revisi dan tindak lanjut semua peraturan yang telah terbit sebelumnya.
Dengan mengacu dan berpegang pada UU dan Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah tetap menghormati semua isi perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dan masih sah berlaku.
Atas dasar itu semua pemegang Kontrak Karya dapat melanjutkan usahanya seperti sedia kala dan tidak wajib mengubah perjanjian menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sepanjang pemegang Kontrak Karya tersebut melakukan pengolahan dan pemurnian (hilirisasi) dalam jangka waktu lima tahun sejak UU Minerba 4/2009 diundangkan (Pasal 169 dan pasal 170 UU No 4/2009).
Dengan fakta bahwa pemegang Kontrak Karya (KK) belum melakukan hilirisasi sebagaimana dimaksud dalam UU Minerba tersebut, maka Pemerintah menawarkan kepada semua pemegang Kontrak Karya yang belum melakukan hilirisasi (membangun smelter) untuk mengubah Kontrak Karya menjadi IUPK.
Dengan demikian sesuai Pasal 102-103 UU No 4/2009, mereka akan tetap mendapat izin melakukan ekspor konsentrat dalam jangka waktu lima tahun sejak PP No 1/2017 diterbitkan. Namun mereka tetap diwajibkan membangun smelter dalam jangka waktu lima tahun.
Menurut Jonan, progres pembangunan smelter akan diverifikasi oleh verifikator independen setiap enam bulan.
"Jika progres tidak mencapai minimal 90 persen dari rencana maka rekomendasi ekspor akan dicabut," katanya.
Jonan menyatakan, bahwa fakta yang terjadi saat ini adalah pertama, PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) telah menyatakan terima kasih atas persetujuan Pemerintah mengubah perjanjian Kontrak Karya menjadi IUPK.
"PT AMNT telah mengajukan permohonan rekomendasi ekspor No 251/PD-RM/AMNT/II/2017 disertai pernyataan komitmen membangun smelter.
Atas dasar itu Dirjen Minerba telah menerbitkan rekomendasi ekspor Nomor 353/30/DJB/2017 pada Jumat 17 Februari 2017," sebutnya.
Kedua, PT Freeport Indonesia (PTFI) menolak perubahan dari KK menjadi IUPK.
"Sesuai hasil pembahasan bersama yang melibatkan Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan PTFI, Pemerintah telah memberikan hak yg sama di dalam IUPK setara dengan yang tercantum di dalam KK, selama masa transisi perundingan stabilitas investasi dan perpajakan dalam enam bulan sejak IUPK diterbitkan," katanya.
"Sesuai Pasal 169 UU No 4/2009, stabilitas investasi memungkinkan untuk didapatkan. Namun PTFI menyatakan tetap menolak IUPK dan menuntut KK tetap berlaku," dia menambahkan.
Aspirasi Rakyat
PTFI telah mengajukan rekomendasi ekspor melalui surat No 571/OPD/II/3017 tanggal 16 Februari 2017 dengan menyertakan pernyataan komitmen membangun smelter. Sesuai IUPK yang telah diterbitkan, Dirjen Minerba menerbitkan rekomendasi ekspor untuk PTFI No 352/30/DJB/2017 pada 17 Februari 2017.
Jonan mengatakan, menurut informasi yang diterimanya bahwa PTFI juga menolak rekomendasi ekspor tersebut.
"Saya berharap kabar tersebut tidak benar karena Pemerintah mendorong PTFI agar tetap melanjutkan usahanya dengan baik, sambil merundingkan persyaratan-persyaratan stabilisasi investasi, termasuk perpanjangan izin, yang akan dikoordinasi oleh Ditjen Minerba dan Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu serta BKPM," katanya.
"Saya berharap PTFI tidak alergi dengan adanya ketentuan divestasi hingga 51 persen yang tercantum dalam perjanjian Kontrak Karya yang pertama antara PTFI dan Pemerintah Indonesia, dan juga tercantum dengan tegas dalam PP No. 1/2017," dia menegaskan.
Menurut Jonan, memang ada perubahan ketentuan divestasi di dalam Kontrak Karya yang terjadi di tahun 1991, yaitu menjadi 30 persen karena alasan pertambangan bawah tanah.
"Namun divestasi 51 persen adalah aspirasi rakyat Indonesia yang ditegaskan oleh Bapak Presiden, agar PTFI dapat bermitra dengan Pemerintah, sehingga jaminan kelangsungan usaha dapat berjalan dengan baik dan rakyat Indonesia serta rakyat Papua khususnya, juga ikut menikmati sebagai pemilik tambang emas dan tembaga terbesar di Indonesia," katanya.
BERITA TERKAIT
KABAR TERBARU
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...