Pemilu 2014, Penyandang Difabel: Isu Difabel Tidak Untungkan Wakil Rakyat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Constant Giawa, penyandang tuna netra asal Nias mengatakan, "memang banyak wakil rakyat yang paham apa itu kebutuhan kami penyandang difabel, tapi itu jatuh pada wacana saja karena isu kami tidak menarik bagi mereka. Tidak menarik ya karena tidak membawa keuntungan bagi mereka.”
Mahasiswa Magister Sains Psikologi Temu Budaya itu mengatakan kepada satuharapan.com pada Kamis (6/3), bahwa secara konsep, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) telah mengetahui secara persis tentang isu difabel.
Para wakil rakyat tersebut bahkan telah menuangkannya dalam undang-undang agar kebutuhan penyandang difabel dapat terakomodasi. Namun ia menyesalkan bahwa perhatian wakil rakyat berhenti pada wacana, tidak diimplementasikan secara nyata di masyarakat.
Diskriminasi terhadap Penyandang Difabel
Constant menyayangkan masih ditemuinya berbagai diskriminasi terhadap penyandang difabel, misalnya penyandang tuna netra seperti dirinya.
“Undang-undang yang dibuat pemerintah hanya wacana, tidak diimplementasikan. Kenyataannya tetap terjadi diskriminasi pada penyandang cacat,“ ujar Constant.
Ia menambahkan, “contohnya ada beberapa bank swasta yang tidak mengijznkan tuna netra membuka rekening. Padahal di Bank Indonesia (BI) sendiri kan tidak ada peraturan untuk menolak difabel.”
“Saya pun pernah ditolak oleh suatu bank saat ingin membuka rekening karena menurut mereka tuna netra adalah sakit. Saya bilang pada petugasnya, apakah kalian lihat saya sakit? Apakah saya diinfus? Apakah tubuh saya diperban? Saya ini sehat, hanya saja salah satu organ tubuh saya tidak berfungsi,” ujar Constant.
Lebih lanjut ia juga memberi contoh lainnya, “diskriminasi juga terjadi di maskapai penerbangan. Baru-baru ini ada seorang tuna netra yang ditolak untuk diterbangkan ke Surabaya dengan alasan tidak memiliki pendamping.”
Menurut pria berusia 43 tahun itu, akar permasalahannya adalah karena “pemerintah ini tidak mau memikirkan apa perbedaan antara orang sakit dengan orang cacat. Tidak ada definisi tentang itu.”
“Jika kita melihat dalam aturan, misalnya orang yang mau jadi anggota DPR, anggota KPU, anggota Komnas HAM, pegawai negeri, dikatakan syaratnya adalah orang harus sehat jasmani dan rohani. Pertanyaannya, apakah penyandang cacat itu tidak sehat secara jasmani?” ujarnya lagi.
Perlu Utusan Golongan dari Penyandang Difabel
Menurut Constant, “Wakil rakyat yang sekarang itu lemah. Dulu di zaman orba (orde baru, Red), malah ada utusan golongan yang berasal dari golongan pengusaha, budayawan, dan ada pula golongan yang mewakili kaum difabel. Sekarang justru tidak ada.”
Ia juga menyesalkan kenyataan bahwa pada akhirnya banyak di antara penyandang difabel, khususnya tuna netra, yang merasa khawatir untuk turut berkompetisi di ajang politik.
“Kita merasa minder, karena berpikir tidak mungkin dipilih masyarakat. Walaupun sebenarnya banyak juga yang bilang, bahwa Gus Dur saja bisa jadi presiden,” tutur Constant.
Perhatikan Rekam Jejak Caleg 2014
Constant mengimbau masyarakat untuk memerhatikan rekam jejak para calon legislator (caleg) agar tidak terkecoh dengan rayuan politiknya.
“Rata-rata yang mencalonkan diri pada pemilu (pemilihan umum, Red) adalah politisi. Jarang sekali berasal dari teman-teman yang berkecimpung di LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat, Red), yang mengayomi teman-teman minoritas yang telah dimarjinalisasi. Selama politisi semacam itu yang terus muncul, menurut saya keadaan Indonesia akan terus seperti ini, sulit untuk berubah,” ia menegaskan.
Menurutnya, keaktifan seorang caleg dalam memperjuangkan hak-hak minoritas dalam hal agama atau etnis tidak menjadi indikator bahwa ia akan memperjuangkan hak difabel.
“Memang sudah semestinya para caleg yang dikenal aktif memperjuangkan hak minoritas dalam hal agama atau etnis, juga memiliki kepedulian yang sama pada hak difabel. Namun masalahnya seperti yang saya katakan sebelumnya, isu kami ini tidak menarik perhatian karena kasus-kasus yang muncul telah diabaikan sehingga tidak mendapat perhatian publik.”
Memilih Menjadi Golput
Constant merupakan seorang penyandang tuna netra. Ia tidak mengalami kebutaan sejak lahir, melainkan ketika ia telah menjalani pendidikan sarjana di bidang psikologi di sebuah universitas swasta di Bandung. Tahun 1998 ia mengalami kebutaan, yaitu ketika ia berusia 27 tahun.
Merasa prihatin dengan kondisi politik dan keberadaan difabel di Indonesia sampai saat ini, Constant dengan yakin mengatakan bahwa ia memilih menjadi golput, yaitu orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
“Saya memilih untuk menjadi golput dengan cara mencoblos semua gambar caleg sehingga dihitung abstain pada penghitungan suara. Ini saya lakukan karena saya berpikir ketika negara ini tidak bisa maju dalam segala aspek kehidupan, maka sudah pasti perhatian pada kaum difabel juga akan lemah,” ia menegaskan pilihannya.
Ia memaparkan pengamatannya mengenai perkembangan persiapan pemilu 2014, “kalau tidak salah, di DPR ada sekitar 520 anggota yang sekitar 409 di antaranya mau mencalonkan diri kembali. Kalau mereka menang lagi, mereka akan kembali meneruskan kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan atau keuntungan mereka dan tentu golongannya. Dengan kata lain, masa depan kaum difabel di Indonesia masih belum ada titik cerah.”
Constant menutup wawancara dengan mengungkapkan harapannya agar “pemilu kali ini lebih memerhatikan masyarakat yang memilih golput. Caranya dengan menghitung jumlah surat suara yang sengaja dirusak pemilih dengan mencoblos semua gambar, atau menghitung jumlah pemilih yang tidak mau datang ke TPS.”
“Jadikanlah hasil penghitungan jumlah golput itu sebagai koreksi atau evaluasi, mengapa pemilu kita begini kualitasnya,” pungkas Constant.
Editor : Bayu Probo
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...