Pemilu Mahal dan Kader Jenggot
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemilihan umum legislatif 2014 menjadi pemilu yang mahal dan membuat stress bagi calon anggota legislatif. Hal ini merupakan bagian dari begitu banyak masalah dalam penyelenggaraan proses demokrasi ini.
Pemilu ini mahal, karena setiap pemilu anggarannya melonjak drastis, tetapi hasil pemilu tidak memberikan perubahan signifikan, kecuali pergantian penguasa. Pemilu pertama setelah reformasi membutuhkan biaya Rp 1,3 triliun. Pemilu berikutnya (2004) naik menjadi Rp 2,3 triliun. Pemilu 2009 naik drastis menjadi Rp 8,5 triliun, dan pemilu 2014 ini lebih tinggi lagi menjadi Rp 22 triliun.
Selain itu, setiap kali pemilu, biaya yang diperlukan oleh kandidat (legislatif maupun eksekutif) terus meningkat. Pemilu kali ini, calon anggota legislatif yang hanya membelanjakan sekitar Rp 700 juta, kemungkinan akan terlewatkan dari perhatian para pemilih. Caleg membutuhkan sekitar Rp Rp 1,1 miliar untuk kampanye.
Bisa diperkirakan bahwa jika setiap caleg DPR dari 6.608 orang masing-masing membelanjakan Rp 500 juta saja, maka dibutuhkan sekitar Rp 3,3 triliun. Padahal jumlah caleg DPRD, DPR dan DPD mencapai 235.000 orang lebih. Dan kurang dari 8 persen dari mereka yang akan terpilih.
Itu berarti sedikitnya 90 persen dana yang dibelanjakan para caleg merupakan dana yang terbuang sia-sia, karena tingkat kemungkinan terpilihnya sangat kecil, yaitu sekitar 8 persen.
Oleh karena itu, jika ada caleg yang mendadak menjadi stress setelah mengetahui hasil sementara pemilihan di TPS-TPS daerah pemilihannya, dan ternyata mereka tidak memperoleh suara yang memadai.
Kader Jenggot
Mengapa pemilu ini menjadi mahal? Pertama karena model “kader jenggot” masih bercokol di partai politik. Istilah ini sebenarnya muncul pada masa Orde Baru yang disampaikan secara sinis mengritik anak-anak pejabat masuk ke partai langsung menduduki posisi penting dan menjadi caleg. Disebut demikian, karena seperti bulu jenggot berakar ke atas, dan bukan berakar ke bawah (rakyat).
Partai politik di era reformasi ini juga penuh “kader jenggot”. Banyak dari mereka menjadi caleg atau masuk partai karena kedekatan dengan pimpinan pusat partai. Atau figure yang biasa muncul di media massa, meskipun tidak terkait politik, lalu direkrut. Kebanyakan dari mereka tidak mempunyai akar yang kuat dalam kehidupan politik, dan dengan masalah-masalah di publik.
Para “kader jenggot,” karena tidak dikenal di publik, berusaha keras untuk dikenal, dan hal itu dipaksakan pada masa kampanye yang pendek. Tidak bisa dielakkan maka politik uang dan kampanye yang jor-joran terpaksa dilakukan. Konsekuensinya, banyak pelanggaran dan biaya yang tinggi.
Dua pemilu dengan sistem proporsional dan daftar terbuka, dengan surat suara menampilkan nama caleg, tidak punya efek yang signifikan untuk menampilkan kader yang merakyat. Jumlah anggota legislatif yang memperoleh suara penuh untuk satu kursi terlalu kecil, dan pemilih tetap saja tidak mengenal baik calegnya.
Persaingan Internal
Sistem pemilu ini, proporsional dengan daftar caleg, yang berusaha mengatasi kelemahan sistem proporsional dengan mengadopsi sebagian sistem distrik justru menjadi serba tanggung. Kelemahan sistem proporsional tidak teratasi, tetapi kelebihan sistem distrik juga tidak bisa ditampilkan.
Sebaliknya yang terjadi justru pemilihan ini makin mahal bagi para caleg. Pertama, karena caleg bukan saja terlibat dalam persaingan antar partai peserta pemilu, tetapi juga bersaing dalam internal partai. Kampanye menjadi “pertempuran” yang yang menempatkan semua kandidat dalam satu daerah pemilihan sebagai “musuh,” Energi serta logistikuntuk “pertempuran” seperti ini menjadi sangat mahal.
Semestinya, pertempuran internal partai terjadi ketika akan mengajukan caleg ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan pada masa kampanye menjelang pemungutan suara.
Masalah ini harus menjadi kesadaran bagi caleg yang nanti terpilih dan duduk di Senayan. Sebab, masalah ini juga dibuat oleh anggota legislatif yang pada pemilu kali ini juga sebagian besar kembali menjadi caleg. UU Pemilu, UU Susunan dan Kedudukan DPR, DPR dan DPRD, dan UU Partai Politik adalah produk mereka yang menghasilkan pemilu seperti ini.
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...